Oleh : Chumaidi Syarif Romas
Perbedaan HMI yang mendasar ialah HMI lahir bukan dari rahim politik Masyumi, bisa dilihat selama dua tahun (1947-1949) ada “kontroversi” terhadap HMI yg belum atau tidak diakui kehadirannya dari sudut kepentingan Masyumi.
Namun pada kongres Umat Islam tahun 1949 HMI bisa welcome meski tetap independen (bukan netral). Akar dari kontroversi tersebut berakibat kepada internal HMI yang
sebenarnya misi pokoknya sama dengan “politik” Masyumi yakni kesadaran Islamnya dan peduli terhadap kehidupan bernegara RI sebagai “Negara Poskolonial. Misi HMI tercermin melawan “warisan” kolonialisme yang “westernized” dalam kehidupan berbangsa & bernegara (tujuan sejak awal HMI).
Mendasarkan pada tujuan dan misi yang sama dengan iklim politik islam saat itu terutama politik Masyumi. Keadaan ini bagi HMI bisa diterima semua lapisan dan kelompok muslim yang ada dalam masyarakat Indonesia baik di kalangan santri maupun awam dalam beragama terutama keluarga Masyumi pada saat itu.
Dampak dari masuknya anggota HMI yang bersumber dari kalangan muslim yang santri dan dari yang awam secara cerdas karena hidup di Perguruan Tinggi, telah menjadikan HMI sebagai organisasi “kader umat dan bangsa” yang bernafas Islam serta memiliki fungsi strategis bagi masyarakat Indonesia yang sangat berguna dalam kehidupan politik Indonesia secara mandiri.
Dengan modal fungsi strategis tersebut, peran HMI diharapkan menjadi kekuatan kader bagi umat Islam secara keseluruhan terutama di bidang politik. Di celah fungsi strategis ini melahirkan pola kepentingan-kepentingan “politik” yang mencuat dalam menghadapi problem nasional. Tarikan politik yang demikian ini melahirkan perbedaan-perbedaan respons dalam intern HMI, yakni tarikan keinginan tetap “independen” atau mandiri dan tarikan politik “ideologis islam”.
Tarikan “independen” mencerminkan HMI sebagai “moral force” atau penegakan “moral” berbangsa (akhlaqul karimah). Sedang tarikan “ideologis politis” adalah corak politik keumatan.
Corak tarikan independen HMI diarahkan pada peduli kebangsaan sekaligus keumatan yang bersumber dari potensi pemikiran murni dari HMI, yang dijargoni Dahlan Ranumiharjo dan kawan-kawan. Sedang tarikan ideologis bersumber dari pemikiran Masyumi yang peduli keumatan, yang dijargoni oleh Deliar Noor dan kawan-kawan.
Polarisasi dari tarikan-tarikan tersebut secara geneologis terus berlangsung hingga generasi HMI sekarang. Polarisasi tersebut muncul dan tenggelam sejak periode Deliar Noor sebagai Ketum PB HMI hingga periode dua Ketua Umum PB HMI yakni Nursal dan Oman Komarudin secara urut bergantian dalam periode tersebut, yakni periode jalan tengah atau kompromi dari dua tarikan di atas.
Periode penggantinya adalah Sulastomo sebagai Ketua Umum PB HMI, di era Orde Lama yang banyak dibantu oleh Dahlan Ranuwiharjo dalam menghadapi tantangan PKI. Lalu periode berikutnya dilanjutkan oleh Cak Nur sebagai Ketua Umum PB HMI (tahun 1966-1969 dan 1969-1971). Dua sosok Ketua Umum tersebut corak idenya hampir sejalan dengan Dahlan Ranuwiharjo, tentang politik kebangsaannya. Selanjutnya periode Akbar Tanjung (1972-1974), Ridwan Saidi (1974-1976), saya (1976-1979) hampir paralel polanya dengan periode sebelumnya.
Khusus periode Abdullah Hehamahua (1979-1981) agak mirip dengan pola Deliar Noor yang kemudian dilanjutkan oleh A. Zaky Siraj (1981-1983) yang polanya sejalan dengan periode sebelum Abdullah Hehamahua.
Reformasi 1998 bisa menjadi pelajaran politik kenegaraan HMI, dengan berakhirnya ORBA dengan sistem tiga partai, Golkar, PDI dan PPP dalam kehidupan Demokrasi membawa konsekuensi semakin terbukanya multi partai hingga mencapai 100 lebih partai benar-benar menggambarkan kebebasan yang luas bagi masyarakat untuk mendirikan parpol sesuai dengan hasrat pandangan ideologinya.
Oleh karena itu kita bisa membaca keaslian jalan pikiran ideologis politik di kalangan alumni HMI. Bisa dilihat dalam klaster-klaster yang berbeda dalam pandangan ideologi parpol masing-masing. Klaster pertama “ideologi Islam”
yang dekat mendekati tipologi Masyumi; Partai Masyumi, Partai Masyumi Baru, Partai Umat Islam, Partai Bulan Bintang Bulan/Bintang Bulan.
Partai-partai tersebut menggunakan lambang Bulan dan Bintang dengan letaknya yang berbeda beda (ada BB yang tegak dan miring) dan PK/PKS kader inti dari PB HMI
dan Alumni HMI sebagai pendiri partai-partai tersebut.
Klaster kedua, ideologi nasionalis relijius: PNU, PKB, PAN, PPP dan lain-lain, yang dipimpin/ didirikan oleh ormas NU dan Muhamadiyah. Sebagian alumni HMI terjun di klaster ini namun bukan ex. PB HMI. Klaster ketiga, adalah partai
Nasionalis: Golkar, PDI/PDIP, PNI, PUD, PD dan lain-lain, partai ini sebagian oleh Ex PB HMI dan alumni HMI.
Klaster keempat adalah partai-partai yang didirikan aktivis Kristiani: PDS dkk.,yang tidak menjadi wadah bagi kader HMI. Yang menarik bagi kader-kader HMI baik alumni maupun aktivis HMI terdapat pada klaster pertama dan klaster kedua.
Dalam perjalannya perpolitikan di Indonesia yg masih survive hingga saat ini adalah PDIP, GOLKAR, PAN, PPP, PKS, PKB, NASDEM, GERINDRA, PD dan PBB. Seluruh partai ini bisa menjadi wadah kader-kader HMI, mungkin karena ada pameo dari Cak Nur tentang: “Islam yes, partai Islam no”.
Selain partai-partai tersebut, kader-kader HMI tidak terlalu tertarik menjadi wadah perjuangan alumni HMI. Dalam catatan kasar, PDIP adalah wadah yang jumlahnya terkecil dari peminat alumni HMI.
Dalam catatan sejarah perpolitikan kita tokoh yang bersayap Masyumi secara simbolik lebih kuat dalam tubuh HMI ketimbang non-Masyumi/NU. Dalam catatan dan pengamatan saya selama di HMI dari awal berdirinya HMI tahun 1947 anggota HMI sebagian besar dari keluarga Masyumi sampai tahun 1960-an akan tetapi sejak dalam intern HMI mengalami kontroversi politik HMI dalam merespon perdebatan Dasar Negara di Konstituante tahun 1955-1959 maka perselisihan pendapat secara alamiah antara mendukung pendapat Masyumi dengan pendapat NU di Konstituante, yakni pilihan Islam vs Pancasila.
Namun secara resmi PB HMI mengeluarkan pendapat mendukung dasar Islam yang secara vokal pendapat Masyumi, sehingga terjadi kesan HMI adalah “underbow” Masyumi (HMI tidak resmi dukung Masyumi tapi dukung Islamnya). Akibatnya keluarga NU di HMI al: Tolhah Mansur, Mahbub Junaidi dan kawan-kawan mulai sadar untuk mencari jalan keluar dengan mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berafiliasi kepada NU. Peristiwa ini memberi pelajaran secara alami bahwa
perbedaan ideologis politik di HMI tidak “berkasak kusuk” di dalam HMI tetapi dinyatakan secara eksplisit dengan berpisah secara ideologis dan membentuk nama lain yang kebetulan afiliasi NU.
Kontroversi yang klasik di HMI secara gamblang adalah lahirnya PMII, sehingga HMI tetap solid dan kuat sehingga mampu menghadapi tiap ancaman bagi HMI. Kontroversi sampai hari ini juga terasa seperti prototipe dengan keluarga NU tersebut, yaitu antara faham kebangsaan HMI (yang secara eksplisit menyatakan tidak ada konsep Negara Islam vs ada Negara Islam) masih merupakan api dalam sekam di tubuh HMI atau dengan sederhana pengikut Nasir Masyumi vs bukan Nasir.
Tetapi, secara samar-samar bisa disimbolisasi dengan MPO vs DIPO, saya masih punya persepsi yang netral dengan keduanya karena saya juga keluarga inti Masyumi yang menghormati perbedaan itu/ikhtilaf saja yang memerlukan prinsip ishlah, bukan pembiaran karena memperlemah eksistensi nama HMI.
Kontroversi sejatinya pernah terjadi pada periode tahun 1961-1963 (Nursal yang pro Masyumi vs Oman Komarudin yang pro independen/ nasionalis) tapi masih duduk dalam satu meja PB HMI periode itu.
Bagaimana mengakhiri kontroversi dengan duduk bersama/ musyawarah bersama ada prinsip ajaran Islam bukan ajaran yang ada dalam AD/ART sendiri-sendiri sedang sejarah kelam masa lalu bukan mitos dan bukan phobia sesama sebab setiap perbedaan/ ikhtilaf ada rahmahnya bukan marahnya.
Kembalikan semangat atau nafas Islam kepada Al-Qur’an dan Hadits sebagai jalan keselamatan. Bahagia HMI.
Sekian pikiran saya untuk kembali kepada Al-Qur’an Hadis Surat An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).
Yogyakarta, 19 Juli 2021
Penulis adalah Ketua Umum PB HMI 1976-1978