Oleh: Made Supriatma
Sistem politik modern mengajarkan pergantian kekuasaan secara teratur. Ada negara yang mengganti pemimpinnya setiap empat tahun, lima tahun, enam tahun, atau delapan tahun. Ada yang hanya mengijinkan masa jabatan hanya satu kali satu periode, ada yang dua kali.
Pendeknya, dalam sistem politik modern, suksesi kekuasaan adalah sesuatu yang reguler. Dan kekuasan itu dibatasi tidak saja wewenangnya namun juga periode waktunya.
Mengapa perlu ada suksesi?
Pertama-tama adalah karena pemangku kekuasaan adalah manusia biasa. Manusia memiliki kemampuan terbatas untuk mengelola kekuasaan.
Di negara-negara dengan sistem politik demokratis yang stabil kekuasaan pemimpin pemerintahan dibatasi. Selama berkuasa, seorang pemimpin memiliki pembantu-pembantu yang loyal. Biasa setelah beberapa tahun, orang-orang yang menjadi pembantu di lingkaran kekuasaan ini mundur. Mereka kelelahan, menderita exhaustion, dan merasa perlu penyegaran.
Kepala staf kepresidenan di Amerika jarang yang bersama presidennya selama satu term penuh. Biasanya setelah dua tahun, mereka mengundurkan diri. Mereka kelelahan.
Hal yang paling umum diderita oleh para pemimpin yang terlalu lama berkuasa adalah mereka kehilangan kepekaan dan kontrol terhadap kekuasaannya.
Suharto berkuasa lagi dan lagi selama 32 tahun. Sepuluh tahun terakhir kekuasaannya jelas dia mengalami fatigue (keletihan). Para pembantu-pembantu lamanya telah lama pergi — entah meninggal atau terlempar dari lingkaran kekuasaan akibat intrik-intrik.
Ketika dia semakin percaya diri bahwa dia adalah yang maha tahu, tanpa sengaja dia mengumpulkan para penjilat (sycophants) yang melaporkan kepadanya apa yang ingin dia dengar, bukan apa yang sebenarnya terjadi.
Tugas para sycophants ini adalah melayani ego dan megalomania sang pemimpin. Bukan menasehatinya tentang apa yang paling baik bagi rakyat yang dipimpinnya. Semua orang takut kepadanya. Tidak ada yang berani berkomunikasi dengan dia — yang merasa diri paling tahu, paling pintar, paling berkuasa. Apalagi mengkritiknya.
Apa yang dilakukan para pembantunya hanya membaca tanda-tanda seperti gerak gerik tubuhnya (gestures), caranya tersenyum, perintah-perintahnya yang semakin hari semakin ngawur. Ia tidak terbantahkan.
Kondisi ini buruk tidak saja untuk rakyat yang dipimpinnya tetapi juga untuk kelangsungan kekuasaannya.
Tidak semua pemimpin seperti Suharto. Lee Kuan Yew, perdana menteri Singapore yang juga berteman baik dengan Suharto pernah secara halus mengingatkan dia akan bahayanya terlalu lama berkuasa. PM Lee sendiri ketika merasa bahwa dia tidak lagi mampu berkuasa memutuskan untuk mundur. Goh Chok Tong diangkat menggantikannya. Lee cukup menjadi Menteri Senior.
Skenario seperti ini tidak selamanya berhasil. Di Malaysia, PM Mahathir Muhamad mempersiapkan Anwar Ibrahim menjadi penggantinya. Namun di tengah jalan, dia merasa tidak mampu mengontrol Anwar dan memecatnya. Ia bahkan memasukkan Anwar ke dalam penjara.
Kini setelah lama berjuang, Anwar mampu menjadi PM Malaysia. Namun ‘broken politics’ yang diwariskan oleh Mahathir dan penerus-penerusnya tetap berada dalam politik Malaysia.
Sebenarnya tidak ada contoh paling baik dari pemimpin yang tahu selain Nelson Mandela, pejuang anti-apartheid, yang menjadi presiden Afrika Selatan selama satu periode. Mandela mendekam dalam penjara selama 27 tahun (1962-1990) hanya karena meminta persamaan hak dengan orang-orang kulit putih yang menguasai negerinya Afrika Selatan.
Tahun 1994, Mandela terpilih menjadi presiden Afrika Selatan. Nasibnya berubah dari seorang narapidana politik yang paling pariah menjadi presiden yang paling berkuasa dan paling dihormati.
Mandela hanya melayani negerinya hingga tahun 1999. Dia pensiun, kembali ke kehidupan biasa di desa asalnya.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, ramai perdebatan publik di Indonesia untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Atau, mengijinkan presiden yang berkuasa sekarang untuk menjabat di periode ketiga lewat pemilihan umum.
Presiden sekarang masih sangat populer. Pendukung-pendukungnya sangat kuat dan setia. Barangkali tidak salah kalau dikatakan bahwa dia adalah presiden paling populer yang dimiliki Indonesia setelah Presiden Soekarno.
Namun apakah ia pantas untuk menjabat di periode ketiga? Atau masa jabatannya diperpanjang?
Menurut hemat saya, tidak! Alasannya sangat sederhana, sekali pembatasan kekuasaan ini dilanggar akan ada godaan untuk meneruskannya hingga waktu tidak ditentukan.
Artinya, sekali perpanjangan masa kekuasaan ini diberikan sangat sulit dan tidak ada jaminan penguasa itu akan turun secara sukarela ketika waktunya tiba.
Kekuasaan terlalu lama itu membuat kelelahan dalam sistem politik kita. Tidak ada lagi ide-ide segar. Tidak ada lagi peremajaan sistem. Tidak ada lagi pembaruan yang membuat sistem ini lebih mudah menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat dan dunia internasional.
Ini tidak saja berlaku di tingkat negara. Ini, saya kira, berlaku dalam berbagai organisasi. Di negeri kita ini, beberapa partai politik juga mengalami maslaah yang sama, yakni internal governance.
PDIP misalnya tidak mengalami pergantian kepemimpinan sejak 1996. Sekalipun PDIP tetap menjadi partai politik terbesar dengan jaringan paling rapi namun partai ini menghadapi masalah suksesi yang serius. Adalah ironis bahwa partai yang paling depan dalam menghadapi Suharto sekarang mengalami masalah yang sama seperti Suharto,
Bottom line-nya adalah bahwa kita hidup dalam sistem yang modern. Dalam sistem ini, kekuasaan tidak dibiarkan liar dan penuh kekerasan. Tidak seperti di masa lampau ketika pergantian kekuasaan berarti ‘tumpas kelor’ atau memusnahkan penguasa sebelumnya hingga keakar-akarnya. Kekuasaan ini harus dikelola dengan pergantian yang teratur, secara damai, dan memanfaatkan semua energi kreatif yang ada.
Para mantan pemimpin dipersilahkan untuk menikmati ketenangan dan kedamaian. Anda mungkin tidak lagi berkuasa. Namun Anda akan tetap dihormati dan disegani justru karena Anda mampu melakukan transisi kekuasaan secara damai.