
Oleh: Made Supriatna
Moral Politik Transaksional: Saya menulis tentang walikota Medan, Bobby Nasution, yang pada akhir tahun lalu atau awal tahun ini (tergantung caranya melihat) membuat pernyataan bahwa ia risih melihat sesama jenis bergandengan.
Ia melihat pemandangan itu pada malam tahun baru. Dan Bobby pun mendeklarasikan kota Medan yang dipimpinnya sebagai kota yang “anti-LGBT.”
Untuk saya, pernyataan ini menimbulkan tanda tanya. Mengapa walikota ini perlu mengeluarkan pernyataan seperti itu?
Isu LGBT pernah menjadi krisis di Indonesia ini, khususnya pada tahun 2015-16. Ketika itu para pejabat dalam administrasi pemerintahan Presiden Jokowi seakan berlomba mengeluarkan pernyataan anti-LGBT.
Akibatnya, ancaman terhadap kalangan minoritas LGBT meningkat. Demikian juga kekerasan. Pernyataan para pejabat ini seakan menjadi “lisensi” untuk melakukan kekerasan terhadap LGBT. Ketika itu, Presiden diam saja. Dia tahu persis bahwa ini adalah ranjau politik yang sangat berbahaya.
Lalu, mengapa Bobby? Penjelasan yang paling gampang adalah politik. Bobby adalah menantu Presiden Jokowi. Dan Jokowi adalah satu-satunya alasan mengapa Bobby menjadi walikota. Dia tidak punya partai sebelumnya. Hanya menjelang pemilihan walikota dia menjadi anggota PDIP. Dalam kosa kata politik Orde Baru, Bobby adalah “kader jenggot.”
Bobby terpilih menjadi walikota pada 2020 bersamaan dengan Gibran Rakabuming, anak Presiden Jokowi, menjadi walikota Solo. Namun keduanya menjadi walikota dengan lingkungan yang sangat berbeda.
Di Solo, PDIP sangat kuat. Ia menguasai 2/3 kursi di DPRD Kota. Sebaliknya PDIP di Medan hanya menguasi sekitar 20% kursi DPRD Kota.
Bobby terpilih dengan 53.2% suara. Sementara, di Solo, Gibran menjadi walikota dengan mayoritas absolut dengan kemenangan 86.5%.
Seperti dikatakan diatas, Jokowi ada satu-satunya alasan bagi Bobby untuk menjadi walikota. Seorang politisi di Medan mengatakan bahwa Bobby itu layak dipilih karena “kedekatannya” dengan pusat. Akses ke pusat yang selama ini menjadi kekuatan akan hilang pada 2024 saat Jokowi tidak lagi menjadi presiden. Paling tidak itu yang kita ketahui hingga saat ini.
Oleh karena itu, sebagai orang baru dalam politik di Medan dan Sumatra Utara, Bobby membutuhkan pijakan yang lebih kuat setelah mertuanya tidak menjadi presiden. Alasan ini menjelaskan mengapa Bobby mengumumkan kotanya sebagai kota “anti-LGBT.”
Dengan mendeklarasikan kotanya sebagai “anti LGBT,” Bobby mendekatkan dirinya pada kalangan agamis konservatif yang nantinya akan sangat dia perlukan bila ia maju kembali dalam pemilihan walikota.
Politisi seperti Bobby Nasution ini bukan barang aneh dalam politik Indonesia. Sementara partai-partai Islam tidak terlalu mendapat kenaikan signifikan dalam pemilihan — bahkan cenderung mundur — konservatisme relijius meningkat di Indonesia. Konservatisme agama tidak diterjemahkan kedalam suara politik, tapi ke dalam gaya hidup.
Karena soal inilah, para politisi, khususnya yang lebih berorientasi sekuler lebih memilih untuk tampil dengan gaya agamis.
Seorang ilmuwan politik, Michael Buehler menulis tentang maraknya Perda-perda Syariah di Indonesia. Banyak dari Perda tersebut dilahirkan oleh penguasa-penguasa lokal yang berasal dari partai-partai sekuler seperti Golkar dan bahkan PDIP.
Sehingga, menurut Buehler, perangkulan tingkah laku agamis konservatif oleh para politisi ini sesungguhnya lebih sebagai tindakan transaksional ketimbang politis. Para politisi ini tampil bergaya konservatif untuk mendulang suara saja.
Disinilah, menurut hemat saya, statemen ‘anti-LGBT’ dari Walikota Bobby Nasution bisa diletakkan. Dia sedang berusaha untuk memenangkan kaum agamis konservatif dengan sikap anti-LGBT-nya itu.
Politik transaksional ini mungkin akan menyebabkan seorang politisi mengekalkan kekuasaannya. Yang menanggungnya adalah kaum rentan — kaum minoritas LGBT.
Dan politik itu selalu tidak bermoral. Sekalipun dia dijalankan atas dasar klaim moralitas tertentu.
*)tulisan ini diambil dari Facebook penulis