Oleh: Made Supriatma
Puan Maharani: Selama beberapa bulan terakhir ini, lini masa saya dipenuhi dengan gambar Puan, Ketua DPR-RI dan cucu presiden pertama RI. Tidak ada yang positif. Semua mengejek kampanye Puan yang berusaha menaikkan elektabilitasnya.
Dia ada dimana-mana. Gambar-gambar Puan bisa saya jumpai dalam perjalanan ke mana pun ke seluruh Indonesia. Tapi ya itulah, elektibilitasnya tidak beranjak dari angka bawah satu digit.
Untuk saya, yang mengamati politik sehari-hari, ini menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan Puan?
Saya mahfum bahwa politisi perempuan jauh lebih sulit untuk bertarung di medan pemilihan. Kecuali kalau dia menunjukkan maskulinitas tertentu. Susi Pujiastuti, misalnya, harus tampil lebih maskulin dari politisi pria. Dia tidak segan-segan menenggelamkan kapal pencuri ikan. “Tenggelamkan,” itu buzzword Susi yang sangat populer.
Perempuan harus menunjukkan determinasi yang lebih dari laki-laki ketika berada dalam politik. Dia harus berusaha lebih keras untuk ditakuti. Megawati Sukarnoputri, ibunya Puan, tidak pernah populer di luar basis-nya, PDI-P. Namun jelas dia ditakuti. Megawati bisa bertahan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode dan partainya kembali menjadi mayoritas di DPR. Dia juga bertahan menghadapi berbagai prahara — khususnya Tragedi 27 Juli 1996.
Dengan kata lain, di mana pun perempuan itu berpolitik, dia dihadapkan pada kondisi misoginis — kondisi anti-perempuan dan keperempuanan. Politisi laki-laki tidak akan menghadapi badai sekeras politisi perempuan.
Masih ingat bagaimana Sandiaga Uno kebingungan dengan tali timba sumur saat dia maju sebagai wakil gubernur Jakarta? Orang menertawakan dia. Tapi banyak juga yang membela. Tidak seperti Puan yang menanam padi maju, yang menurut saya menuai reaksi amat keras.
Puan sebenarnya bukan politisi yang buruk. Dia menjadi anggota DPR beberapa kali. Saat pemilihan umum 2019, dia meraih suara tertinggi sebagai satu calon legislatif di satu daerah pemilihan Jawa Tengah. Mungkin orang bisa menuduhnya karena dia mempergunakan pengaruhnya sebagai keturunan Sukarno, putri Megawati, dan lain sebagainya. Tapi itu tidak bisa membantah bahwa dia punya kekuatan untuk mempengaruhi pemilihnya sehingga dia menang mutlak.
Dia juga mantan menteri dibawah kabinet Jokowi. Prestasinya disini memang tidak banyak terdengar. Banyak orang beranggapan, hanya dengan duduk manis di kursi Menko, dia selamat.
Prestasinya sebenarnya moncer saat dia menjadi ketua DPR-RI. Dalam catatan saya, DPR-RI dibawah kepemimpinan Puan adalah badan legislatif yang paling produktif. Bahkan mungkin paska Orde Baru. Sejak dilantik pada April 2019 hingga sekarang DPR ini sudah menghasilkan 43 undang-undang. Termasuk undang-undang yang kontroversial seperti UU Cipta Kerja (Omnibus Law), Revisi UU KPK, Revisi UU Otsus Papua.
Orang mungkin berargumen bahwa ini akibat koalisi besar pendukung Jokowi yang memudahkan Puan meloloskan satu produk undang-undang.
Bisa jadi. Akan tetapi, harus juga diingat bahwa Puan-lah yang memegang palu. Dia bisa mempergunakan kekuasaan itu. Ada satu hal yang kontroversial soal ini yaitu dalam pembahasan UU penghapusan kekerasan seksual. Selama hampir enam tahun, rancangan UU ini berada di DPR. Namun ia akhirnya menjadi UU dibawah kepemimpinan Puan.
Orang bisa mencari alasan bahwa UU itu lolos untuk menaikkan elektabilitas Puan. Akan tetapi, bukankah setiap politisi berusaha mencari cara untuk menaikkan popularitas dan elektabilitasnya?
Diatas segalanya, pertanyaan saya tetap: Mengapa seorang politisi yang memiliki hampir segala hal (partai terbesar, garis genealogis sebagai cucu pendiri Republik dan mantan presiden, kedudukan dan prestasi) tidak berhasil menaikkan elektabilitasnya?
Untuk saya, persoalan misoginis itu tidak masuk dalam hitungan. Dalam politik Indonesia, misoginisme itu sudah menjadi darah daging. Sudah default. Namun beberapa politisi perempuan sanggup mengatasinya. Mengapa Puan tidak? Seharusnya ia pun bisa mengatasinya.
Puan bahkan tidak populer di dalam partainya sendiri, PDI-P. Anda tahu, bahwa di dalam PDI-P dia bersaing dengan kader partai yang lain, yaitu Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah. Saat ini, elektabilitas Ganjar selalu berada pada tiga besar bersama Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.
Saya menulis soal Ganjar dan Puan ini di Fulcrum.sg hari ini (https://fulcrum.sg/pdi-ps-conundrum-to-nominate-or-not-to-nominate-ganjar-pranowo%ef%bf%bc/). PDI-P, lewat fait accompli, nantinya terpaksa harus menominasikan Ganjar sebagai kandidat mereka jika partai ini ingin menyelamatkan masa depan politiknya.
Mengapa elektabilitas Puan terpuruk? Menurut perkiraan saya, pertama adalah kualitas para handlres atau tim kampanye Puan. Kedua, soal Puan sendiri.
Kampanye adalah soal image making (pembuatan citra). Tim Puan menurut pengamatan saya adalah tim yang paling tidak kreatif dari semua tim kampanye yang ada. Mereka tidak mampu menonjolkan kelebihan jagonya.
Tidak ada prestasi legislatif Puan disampaikan dengan cara kreatif. Tidak ada usaha mengaitkan Puan dengan politisi paling populer di Indonesia saat ini, Ir. H. Joko Widodo. Tidak ada usaha untuk menunjukkan bahwa kandidat ini disamping sekutu presiden, juga seorang yang bisa mandiri dari presiden.
Tidak ada usaha untuk menunjukkan bahwa Puan adalah seorang pemimpin yang berkualitas, yang tidak saja punya kekuatan tetapi juga bisa menakutkan untuk politisi sekelas Anies Baswedan, Prabowo Subianto, atau Ganjar Pranowo. Ini semua bisa dipoles.
Tim Puan juga tidak mampu memanfaatkan apa yang menjadi titik lemah calonnya. Pemimpin perempuan? Siapa takut? Saya kira tim ini juga tidak mengklaim bagaimana peran Puan meloloskan UU tindak pidana kekerasan seksual. Juga tidak mampu (atau tidak mau) merangkul para aktivis perempuan untuk ikut dalam menaikkan popularitasnya. Saya tahu ada banyak aktivis yang berterima kasih atas “jasa” Puan meloloskan undang-undang ini.
Dalam politik, setiap kelemahan bisa menjadi sumber kekuatan. Inilah yang sama sekali tidak dieksplorasi tim Puan.
Yang kedua adalah kualitas kandidat itu sendiri. Ini lebih sulit untuk diraba. Sebenarnya tidak masalah bahwa seorang politisi itu tidak terlalu pintar. Tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Itu semua bisa dipoles oleh Tim Kampanye.
Orang bisa mengejek pemimpin yang pintar berbahasa Inggris sebagai orang yang tidak menginjak tanah negeri ini (hello, Anies! 😛 ) Kemahiran berbahasa Inggris bisa dijadikan kelemahan besar seorang calon.
Untuk saya kualitas personal disini ditentukan dari kemampuan untuk mendengarkan dan memutuskan. Kemampuan untuk menyusun tim yang baik. Kemampuan untuk menunjukkan kepemimpinan ke dalam. Membiarkan orang berdebat dan kemudian membuat keputusan.
Saya kira, masalah Puan paling besar berada pada dirinya sendiri: bahwa ia lahir dengan sendok dan piring perak. Statusnya sebagai elit dan elitisme secara sadar atau adalah perangkap untuk dirinya. Elitisme itu dia hidupi ke tulang sumsum.
Ini membuat dia terasing dari hidup sehari-hari rakyat kebanyakan. Karena itu pula, ada rentetan lain, yakni bahwa dia tidak mampu bertarung di pertarungan politik yang keras dan membuat takut lawan-lawannya.
Bahkan pada kualitas yang paling remeh sekali pun, dia bahkan tidak bisa menyamai ibunya. Lihat bagaimana Megawati merengut atau tidak tersenyum sama sekali. Menakutkan bukan?
PS. Ini hanya analisis gampangan. Ini bukan berarti dukungan terhadap Puan atau siapapun. Dan, saya juga tidak tertarik untuk terlibat dalam tim kamapnye siapapun. Tulisan ini dibikin supaya orang mengerti proses kampanye — bahwa tidak ada “orang baik” dalam politik 😛 yang ada hanya “orang kuat” dan “orang tega” (termasuk ,tega berbohong). Ingat politisi adalah “raja tega”.
Sumber: dari Facebook penulis