
penulis: Syamsul Hadi. Kader PC PMII kabupaten bangkalan.
Pendiri Bangsa sudah bersepakat bahwa dalam kenegaraan Indonesia menggunakan sistem demokrasi tertuang dalam sila keempat. Penetapan ini tidak serampangan, bahwa semenjak nenek moyang bangsa Indonesia masih hidup memang mempunyai kultur mengedepankan urun rembuk, musyawarah untuk merumuskan solusi setiap persoalan (Gara-Gara Indonesia, Agung Pribadi) sehingga dinilai bahwa yang paling relevan dengan kultur budaya Bangsa Indonesia adalah Demokrasi.
Meskipun, dalam sejarah Bangsa kita demokrasi dibenturkan dengan kepentingan kekuasaan. Beberapa kali demokrasi terkooptasi, Orde Lama dengan adanya amandemen UUD 1945 yang kemudian mengatur tentang jabatan presiden seumur hidup. Ini menggambarkan suatu sikap otoriter Bung Karno yang seenaknya ingin melanggengkan kekuasaannya.
Kemudian kali kedua di era Orde Baru, dengan torehan kebijakan yang serba sepihak, serta adanya kebijakan dwifungsi ABRI, yang memberikan ruang militer untuk berkiprah di ruang politik sehingga yang terjadi mayoritas Gubernur dan Wali Kota waktu itu adalah anak tangan Suharto lagi-lagi untuk melanggengkan kekuasaan.
Demokrasi belum mampu menjuwai Bangsa Indonesia. Pasalnya, perilaku pemimpin senantiasa mengkooptasi makna demokrasi demi kepentingan sesaat, kecuali Gus Dur dan itu pun tidak bertahan lama.
Baru-baru ini bergulir opini publik tentang jabatan presiden tiga priode. Padahal dalam UUD 1945 pasal 7 diatur bahwa jabatan presiden paling lama dua priode. Sehingga hal ini kemudian memicu kejengkelan mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi karena dinilai bahwa itu akan mencederai demokrasi.
Adapun perilaku mencedrai demokrasi ini juga terjadi di Bangkalan terkait statemen Bupati, R. Abdul Latif Amin Imron yang menyampaikan terkait penundaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Hal ini disampaikan dalam Rapat Kordinasi Penundaan Pilkades yang dihadiri beberapa Kepala Desa(13/3).
Tentu, rapat kordinasi ini tidak merepresentasikan masyarakat Bangkalan secara keseluruhan, meskipun dengan alasan anggaran tidak memadai, pandemi dan lain sebagainya. 2021 silam, dengan anggaran yang relatif sama toh bisa melaksanakan. Kenapa untuk 2022 tidak? Sebab itu, Pro-kontra tetap bergejolak di bawah, apalagi bagi mereka yang mempunyai kepentingan di Pilkades tersebut.
Jika menggunakan kaca mata demokrasi, penundaan Pilkades ini merupakan bentuk pelemahan demokrasi, sebab amanah undang-undang pergantian kepala desa dilaksanakan selama lima tahun sekali.
Di sisi lain, ini adalah upaya mempertahankan kekuasaan Bupati Bangkalan. Kita tahu, sebentar lagi Bangkalan akan melakukan Pemilihan Bupati (Pilbup) dan barang tentu Bupati membutuhkan kekuatan-kekuatan pada khususnya dari Kepala Desa.
Setiap ada kontestasi politik sebagai ajang pesta demokrasi di Bangkalan tidak lagi menjadi ajang pesta rakyat yang mestinya memanfaatkan hak pilihnya sebaik mungkin, akan tetapi konteks Bangkalan pada khususnya realitas yang terjadi bahwa intervensi Klebun (red. Kepala Desa) sangat kental dan masif dalam berbagai bentuknya.
Sudah tiga dekade masa jabatan Bupati berkutat pada lingkaran yang itu-itu saja. Mulai sejak R. Fuad Amin Imron (2008-2013), setelah itu anaknya, R. Makmun Ibu Fuad (2013-2018), lalu yang saat ini menjabat adalah adiknya, R. Latif Amin Imron (2018-menjabat).
Suatu kekuasaan yang berkutat pada lingkaran keluarga semacam ini disebut Monarki, kekuasaan secara turun temurun, entah putra mahkota mana lagi yang akan melanjukan. Terlepas apakah secara kapasitas dan kapabilitas layak untuk jadi Pemimpin, Bupati atau tidak. Akan tetapi menggunakan kekuatan yang sudah dibangun, mampu mempertahankan bahkan sampai saat ini.
Lalu, apa bedanya Kabupaten Bangkalan dengan Emperium atau Kerajaan Bangkalan? Secara esensial sejauh ini belum bisa dibuktikan perbedaannya. Kita tunggu diperhlatan Bupati mendatang. Akan kah tokoh-tokoh yang mulai bermunculan berkenan untuk mendobrak dinding kumuh pembatas demokrasi tersebut. Semoga.
Kekuatan apa yang dimiliki tiga serangkai Bupati tersebut? Prof. Abdur Rozaki menyebut kekuatan yang dimaksud adalah ‘Karisma’ (pengaro) yang kemudian diangkat menjadi buku berjudul ‘Menabur Karisma Menuai Kuasa’. Karisma atau pengaro ini diperoleh, pertama, keturunan, kedua teman pergaulan.
Dalam penjelasan Prof. Rozaki, strata sosial paling berpengaruh di Madura, bagian barat pada khususnya, yaitu dua; Kiainisme (Kiai) dan Blaterisme (tokoh Blater). R. Fuad mempunyai dua kekuatan ini, selain keturunan Mbah Kholil, ia juga banyak berteman dekat dengan tokoh-tokoh Blater yang sebagian adalah klebun, atau bila bukan klebun biasanya orang yang mampu mengatur klebun di desanya.
Di kali lain, hal semacam ini dalam istilah Antonio Gramsci disebut ‘Hegemoni’. Teori hegemoni ini muncul sebagai kritik dari pada teori ekonomisme Lenin yang menyatakan bahwa penentu dari kehidupan adalah ekonomi. Menurut Gramsci, semua sektor, politik, budaya, pendidikan juga berperan menentukan politik.
Masyarakat Bangkalan mempunyai kuktur menghormati guru yang sangat kental. Mbah Kholil mau bagaimana pun adalah guru sentral masyarakat Bangkalan. Sebagaimana diajarkan dalam kitab Ta’lum al-muta’allim bahwa menghormati anak dan sanak family guru adalah suatu keharusan.
Konteks penghormatan ini kemudian salah jalur. Mereka memilih si A, misalkan, demi menghormati. Dan ini sudah sering terjadi contoh kasus pada saat Ra Fuad ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai yang berkelit bahwa ia waliyullah dan sebagainya.
Penulis tidak ingin menafikan kewalian siapa pun, nemun dalam konteks politik, memilih pemimpin tidak sependek karena guru, kerabat, atau sahabat, lebih pada kapasitas, kapabilitas dan jiwa leadernya.
Kesadaran demokrasi kita memang sangat rendah. Buktinya kita tidak mau memilih kalau tidak ada uangnya. Sama halnya manukar nasib daerah selama lima tahun kedepadan dengan uang seratus atau dua ratus ribu. Sangat disayangkan.
Mbah Kholil dalam salah satu tulisannya pernah menulis Hubbul Authan Minal Iman (cinta tanah air, sebagian dari iman), kemudian Kiai Hasyim As’ari mengajarka untuk menjaga dan memakmurkan tanah air sebagaimana tertuang dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, bahwa iplementasi kecintaan terhadap tanah air tidak dalam bentuk mencium simbol-simbil negara, bendera atau burung garuda, tidak cukup, melainkan dapat dilakukan dengan cara menggunakan hak pilih dengan baik, memilih pemimpin yang ideal demi kemaslahatan dan kesejahteraan tanah air, Bangkalan.