
* Johan Cruyff, pemain dan pelatih Ajax Amsterdam dan Barcelona, meninggal pada 24 Maret 2016 dalam usia 68 tahun
Obituari The Economist, edisi 2 April 2016
Keindahan sejati dari permainan terindah, kata Johan Cruyff, orang yang tahu, tidak terletak pada teknik yang mengecoh. Jika seseorang sanggup juggling seribu kali, itu hanya membuktikan bahwa ia pantas bergabung dalam rombongan sirkus. Rudolf Nureyev mengatakan bahwa Johan seharusnya menjadi penari, itu pujian luar biasa.
Tetapi Johan tidak hanya mengandalkan tubuhnya yang jangkung dan ramping saat bermain bola. Ia lebih banyak menggunakan otaknya. Otak itu, serta kakinya yang lincah, menjadikannya pahlawan bagi orang-orang Belanda dan Spanyol dan, secara luas, orang-orang seluruh Eropa yang gila bola.
Aturannya tentang bermain bola sederhana. (Geometris, kata sejumlah orang, bahkan mistis.) Jika ia menguasai bola, ruang di lapangan harus dibuat seluas mungkin. Jika ia kehilangan bola, ruang itu harus menjadi sempit dan mengancam.
Ia terus-menerus menyesuaikan perspektifnya mengikuti pergerakan bola. Pada momen yang tepat–tidak terlalu dini dan tidak pula terlambat, en momento dado, slogannya ketika ia membentuk Barcelona menjadi tim top dunia–ia dan bola bertemu. Dan dari sini seringkali muncul kejayaan. Toon Hermans, rekan senegaranya, dengan fasih menggambarkan kedudukannya yang nyaris spiritual di hati orang Belanda:
Vincent melihat jagung
Einstein melihat angka
Zeppelin melihat Zeppelin
Dan Johan melihat bola
Ia tak cuma melihat bola. Salah satu bagian dari sihir, kata Cruyff, melibatkan juga operan dummy dan back-flick untuk membuat bek lawan mati langkah. Dia menemukan teknik itu pada 1974, sebuah warisan teknisnya yang paling rapi.
Pada satu momen lain, yaitu penalti yang menipu pada 1982, ia menggulirkan bola ke samping dari titik penalti ke rekan satu tim yang tak diwaspadai dan rekannya mengembalikan bola kepadanya dan ia mencetak gol.
Pada 1977 ia mencetak gol hantu; ia melompat dan memutar membelakangi gawang dan penjaga gawang tidak melihat bola meluncur ke gawangnya. Ia mengendalikan bola dengan tumitnya; ia menyepak dan mencetak gol dengan bagian luar atau bagian dalam kedua kakinya. Itu membuatnya enam kali lebih berbakat, katanya, dibandingkan dengan kebanyakan pemain modern.
Pada 1966-67, musim terbaiknya untuk Ajax, ia mencetak 33 gol. Pada 1974 ia hampir mempersembahkan trofi Piala Dunia untuk Belanda. Ia biasanya bermain di depan, tetapi filosofinya tentang “total football”–di mana ia dilatih sendiri oleh Rinus Michels di Ajax sebelum ia sendiri menjadi “konduktor” paling ternama–memungkinkan pemain mana pun untuk mengambil posisi apa pun di lapangan. Sayap kiri bisa menjadi sayap kanan, dan bahkan kiper bisa menjadi penyerang, demi membuat perubahan. (Mengapa tidak? Jika tidak, itu hanya menyia-nyiakan posisi.) Johan adalah “dermolen” yang terus berputar.
Beralih dan bertukar posisi adalah cara yang terencana untuk mengacaukan lawan, entah ia berkostum putih merah Ajax atau jingga cerah Belanda. Ia telah menemukan cara yang berbeda untuk mengguncang sepakbola Eropa.
Para pengamat pertandingan dengan senang hati menjadikannya ilmuwan lapangan rumput, “seorang Pythagoras dengan sepatu bola”, begitu ia pernah disebut. Baginya, semuanya itu adalah naluri. Ia seorang Mokummer yang sombong dan serba tahu (mokum, dari bahasa Yiddish yang artinya tempat, merujuk pada Amsterdam; sama artinya dengan maqam–penj).
Ia ahli one-liner dan bisa menyampaikannya dalam bahasa gaul terbaik Amsterdam. Selebihnya, ia seorang bocah melarat dari Betondorp, “Desa Beton”, yang masuk akademi junior Ajax karena ibunya pekerja kebersihan klub itu dan ayah tirinya perawat lapangan.
Pada umur sepuluh, ia mencabut bendera sudut dan meminta para pemain untuk menembakkan bola ke arahnya; pada umur tujuh belas, foto tim pertamanya memperlihatkan ia dengan mulut menganga dan mata membelalak, lebih lapar akan bola ketimbang siapa pun.
Pada saat itu, pertengahan 1960-an, liga sepakbola Belanda semakin profesional. Pada pertengahan 1970-an, dengan Johan berkostum putih merah, Ajax memenangi enam gelar Liga Belanda dan tiga Piala Eropa berturut-turut.
Secara alami ia tidak cocok dengan kerja tim. Ia seorang penyendiri, merokok terlalu banyak, lebih memilih keluarga daripada rekan satu tim, dan mengenakan nomor punggung 14.
Ketika tim nasional Belanda disponsori oleh Adidas, ia tidak mau memakai sepatu mereka dan memilih Puma. Pada awal musim 1973 ia tiba-tiba pergi mengikuti Michels ke Barcelona dan bermain di sana selama beberapa waktu. Ia kembali ke Ajax hanya untuk pergi lagi pada 1983, merasa bahwa mereka merendahkannya.
Ia sendiri tak pernah bersalah. Klub yang bersalah. Klub yang membawanya sebagai direktur atau penasihat akan ia marahi jika segala sesuatu tidak dikerjakan sebagaimana mestinya, menurut caranya. “Sebelum saya melakukan kesalahan, saya tidak melakukannya,” katanya.
Katedral si Kerempeng
Kemenangan paling abadi, bagaimanapun, adalah kepelatihannya di Barcelona. El Flaco, “Si Kerempeng”, mereka memanggilnya begitu, membawa tim ke puncak La Liga dan kemudian, pada 1992, mempersembahkan kejayaan di Piala Eropa.
Lebih dari Ajax, Barca menyerap semua dekritnya, mendirikan akademi junior, La Masia, sebagaimana Ajax dengan akademi juniornya. Di sana, generasi pemain baru–Messi, Iniesta, Xavi, dan lainnya–belajar bermain dengan gaya Cruyff yang cepat, tepat, dan total.
Meskipun ia tidak senang berkumpul-kumpul, dan anti-mayoritas seperti biasa, kecenderungan separatisnya menggairahkan orang Catalan, dan orang Catalan menggairahkannya. Bersama Johan mereka merasa tidak bisa kalah, dan dalam delapan tahun ia di Camp Nou, mereka memang jarang kalah.
Penggantinya yang paling sukses sebagai pelatih, Pep Guardiola, menyebut Johan sebagai arsitek sebuah katedral dan ia hanya memugar, dengan rasa hormat. Yang lain-lain membandingkan ide strategis Johan dengan lukisan Vermeer. Itu semua berlebihan.
Tetapi ketika ia membawa bola, pada saat yang manis, pada momen yang tidak terlalu dini dan tidak pula terlambat, ketika lawan jatuh keheranan dan ruang menjadi terbuka, ruang terbuka yang sebelumnya tak ada, maka, ya, ia sangat mirip Tuhan.***
* Versi cetak artikel ini terbit pada The Economist edisi 2 April 2016 dengan judul “One given moment”. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A.S. Laksana