
Hawa Abdi, dokter yang bermimpi membangun kembali Somalia, meninggal pada 5 Agustus 2020 di usia 73.
Obituari The Economist, 31 Oktober 2020
- Diterjemahkan oleh A.S. Laksana
SEUSAI salat subuh dan sebelum sarapan pagi, sebelum matahari terbit, Hawa Abdi suka jalan-jalan keliling kampung. Pertama-tama dia akan mengunjungi pertanian komunal untuk menyalakan generator dan memeriksa tanaman: sorgum, jagung, pisang, kacang-kacangan.
Kemudian dia akan melewati rumah-rumah penduduk desa, hanya melihat-lihat. Saat dia membeli tanah ini, di Shebelle Hilir di barat Mogadishu, ibu kota, pepohonan membentang sepanjang cakrawala. Banyak yang masih tegak, tetapi sekarang ribuan orang berlindung di antara pepohonan itu, di sebuah tempat penampungan yang kemudian dinamai Hawa Abdi, sesuai namanya.
“Hendak ke mana?” seorang musafir kumal dan putus asa mungkin bertanya kepada sesamanya di tahun-tahun perang saudara di Somalia, dan jawaban yang paling sering adalah: “Ke Hawa.”
Tak hanya namanya yang melekat di situ, tapi dia juga mengelolanya, menyelesaikan masalah dengan para tetua desa di bawah keteduhan mangga yang dia tanam. Dia memandu pertumbuhannya selama tiga dekade dari klinik bersalin sederhana satu kamar, yang dibangun pada 1983 dengan emas keluarga yang dia kumpulkan, menjadi rumah sakit 400 dipan dengan tiga ruang operasi, sekolah untuk 850 anak, dan tujuh dapur umum.
Akhirnya desa itu menjadi rumah bagi 90.000 orang. Dia adalah kepala dokter dan ahli bedah, manajer pertanian, ahli strategi, penggalang dana dan juru bicara tempat itu. Ketika seluruh dunia melupakan Somalia, atau berpaling darinya, dia terus melaju kian cepat.
“Berpangku tangan itu sia-sia,” neneknya mengajarinya, “bekerja mendatangkan hasil.”
Ini adalah desa orang miskin dan serba kekurangan. Rumah-rumahnya berupa gubuk berpenyangga tongkat-tongkat dan berdinding anyaman rumput, atau tenda gelembung yang diatapi lembaran plastik. Para pendatang baru sering tidur di tempat terbuka, mengantre setiap pagi untuk menemuinya dan memohon diperbolehkan tinggal.
Kebanyakan dari mereka adalah wanita, sedang hamil tua, mencari tempat aman dan gratis untuk melahirkan. Beberapa orang datang mencari pekerjaan; dia melatih sekelompok anak lelaki berpendengaran tajam untuk menjadi penjaga keamanan dan mempekerjakan para lelaki di tempat penampungan dan lahan pertanian.
Pada 1990-an, saat rumah sakit dibanjiri tentara dan pengungsi yang terluka, yang muncul terseok-seok dari gerumbul semak-semak, Hawa menjadi terampil jauh melampaui keahliannya di bidang kebidanan dan ginekologi: Dia menjadi mahir mencungkil peluru dan pecahan peluru dari tubuh mereka.
Ketika kelaparan melanda, terutama kelaparan yang mengerikan pada 2011, orang-orang datang hanya untuk mendapatkan makan. Kadang tak terpikir olehnya bagaimana dia bisa membantu begitu banyak orang; dia hanya memberi mereka apa yang dia punya: sorgum dua hari sekali, beras sumbangan ala kadarnya yang dimasak dalam drum minyak, air dari sumur, tempat untuk tidur.
Penduduk desanya kebanyakan perempuan dan anak-anak. Para lelaki raib: terbunuh, pergi berperang, atau bekerja di negeri lain. Ini memberinya kesempatan besar untuk memberdayakan perempuan, dan dia mulai melakukannya.
Dia tahu betapa rendah nilai perempuan di dalam masyarakat Somalia, di mana anak lelaki adalah raja. Ketika dia masih kecil, ibunya meninggal di depan matanya setelah keguguran, darah mengucur dari jubahnya; Hawa memutuskan menjadi dokter, demi menyelamatkan nyawa para ibu lainnya.
Pada usia tujuh tahun dia disunat dan dijahit, yang membuatnya kesulitan melahirkan, pada usia 13 tahun setelah kawin paksa, anak pertamanya.
Gadis kecil yang sakit-sakitan itu akhirnya meninggal, dan dengan ringan hati suaminya menceraikannya, dan pada usia 17 Hawa melompat jauh untuk belajar: pelatihan medis di Kyiv dengan beasiswa Soviet, kemudian sarjana hukum di waktu senggangnya.
Meskipun dia muslim taat, dia berpakaian mengikuti kesukaannya, dan dengan sengit memperdebatkan bagian-bagian hukum syariah yang membuatnya tersinggung. Di desanya, persamaan hak harus ditegakkan. Pria tak boleh memukuli istrinya, dan akan dikunci di gudang jika mereka melakukannya.
Wanita diajari menjahit dan membaca di pusat pelatihan khusus. Para gadis memadati sekolah, tersenyum malu-malu dalam seragam jilbab kuning di samping anak laki-laki. Kedua putrinya dari pernikahan kedua, Amina dan Deqo, memberi teladan dengan menjadi dokter dan bekerja dengannya.
Adapun dia sendiri, dia sanggup membela diri melawan siapa pun. Tubuhnya boleh lemah, tetapi lidahnya mampu melawan ribuan orang. Dia tidak menolerir identitas klan yang membuat para lelaki bertikai satu sama lain, melarang politik kesukuan di desa dan menggantung kain putih di sekitar perbatasan untuk menunjukkan bahwa ini adalah tempat netral.
Namun, itu tidak menghentikan para Islamis militan. Mereka secara rutin memblokir pengiriman makanan dan beberapa kali menerobos ke desa, paling kejam pada 2010 ketika para milisi remaja menggeledah rumah sakit, menghancurkan empat inkubator yang merupakan satu-satunya di negara itu, mengusir pasien dan merobek catatan mereka.
Dia mestinya tidak mengurusi apa pun, cibir seorang pria bersenjata, karena dia sudah tua, dan dia wanita. Nah, Hawa menyerang balik, dia masih muda, dan laki-laki; dia memiliki dua testis; tapi begitu pula kambing.
Hawa melakukan sesuatu untuk membantu negaranya. Apa sebenarnya yang dilakukan para lelaki itu? Dia menuntut permintaan maaf tertulis. Dia puas dengan hasilnya, permintaan maaf itu datang.
Tatkala staf mereka diserang makin sengit dan dibunuhi, badan-badan bantuan internasional pergi satu demi satu. Hawa memiliki perasaan campur aduk tentang hal ini. Orang harus bekerja, bukan cuma mendapatkan kertas petunjuk; lebih baik melatih orang Somalia, kebanyakan dari mereka adalah penggembala nomaden, untuk mengurus diri sendiri dengan bertani atau menangkap ikan. Dia memberi penduduk desa sebidang tanah dan armada kecil perahu. Tetapi dia juga membutuhkan suntikan uang besar dan tangan-tangan dermawan.
Pada 2010 kemitraan tiga tahunnya dengan Médecins Sans Frontières, yang telah membantu menjalankan sebagian besar rumah sakit, berakhir; pada 2013 MSF meninggalkan Somalia. Program Pangan Dunia PBB juga menangguhkan bantuan, dan perusahaan Italia yang telah mensubsidi pertanian tidak berani lagi mengirim kapal untuk membeli pisangnya.
Perjalanan ke Amerika sejak 2010 memberinya publisitas dan uang dari diaspora, tetapi sejumlah LSM asing menarik diri di tahun-tahun berikutnya, mereka masih menghindari area yang paling berisiko, seperti miliknya. Dia sempat berpikir untuk pergi juga, tapi siapa yang akan merawat pasien-pasiennya? Dia menghela napas dan tetap tinggal.
Terkadang dia sangat lelah sampai-sampai nyaris tidak bisa berjalan. Dia merasa Somalia telah hilang. Yang membuatnya tetap bertahan adalah impian tentang desanya sebagai miniatur negara: Somalia yang dia ingat di masa kanak-kanaknya sebagai untaian permata di sepanjang Samudra Hindia, ladang dan pohon-pohon tinggi yang menghijau setelah hujan.
Di matanya, Somalia adalah masyarakat yang rajin, jujur, hormat, dan penuh cinta. Pelahan, dia mulai membangunnya lagi. Tidak ada suara tembakan di sana, hanya nyanyian kanak-kanak di ruang kelas mereka; tidak ada yang bersembunyi ketakutan di bawah teror geng bersenjata, tetapi hanya ada para wanita yang membuat kerajinan tangan dan para lelaki yang mencari ikan di lepas pantai.
Dan jika seorang musafir bertanya kepada orang-orang ini dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab: “Dari Hawa.” ■