
Penanews.id, JAKARTA – Ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold yang tertuang dalam UU Pemilihan Umum telah berkali-kali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Berkali-kali pula uji konstitusionalitas soal ketentuan itu tidak diterima mahkamah.
Pada Kamis (24/2/2022), upaya menghapus ambang batas pencalonan presiden kembali gagal.
MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan karena menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan.
Para pemohon yang di antaranya adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menggugat Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Pasal 222 UU Pemilu 7/2017 menyatakan, hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya yang dapat mengajukan capres/cawapres.
Mahkamah menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut, sehingga mahkamah tidak dapat menerima permohonan.
Menurut mahkamah, yang bisa menguji aturan tersebut adalah partai politik atau gabungan partai politik.
Selain itu juga individu yang dapat membuktikan diri dicalonkan sebagai capres-cawapres atau individu bersama dengan partai politik pengusung capres-cawapres.
Diuji tiap jelang pemilu
Ketentuan presidential threshold pertama kali berlaku pada Pemilu 2004.
Saat itu, UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menetapkan ambang batas pencalonan adalah sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Kemudian, pada 2009 besaran presidential threshold berubah. Hal ini diikuti dengan berubahnya UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
UU Nomor 42 Tahun 2008 menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif.
Selanjutnya, besaran presidential threshold ini tidak berubah pada Pemilu 2014. Namun, pada Pemilu 2019, angka ini berubah lagi.
Ketentuan tentang ambang batas itu diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Saat ini, ambang batas pencalonan yaitu minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pada 2018, 12 tokoh masyarakat mengajukan uji materi terhadap Pasal 222 UU Pemilu 7/2017. Namun, mahkamah tidak menerimanya karena menilai keberatan pemohon tidak memiliki dasar hukum.
Para pemohon di antaranya adalah Effendi Gazali, Muhammad Busyro Muqoddas, Muhammad Chatib Basri, Faisal Batubara, Hadar Nafis Gumay.
Kemudian, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Angga Dwimas, Feri Amsari, Hasan, Dahnil Anzar Simanjuntak, dan Titi Anggraini.
Partai Islam, Damai, Aman (Idaman) juga pernah mengajukan gugatan yang sama pada 2017. Saat itu, Partai Idaman mengajukan uji materi untuk pasal 173 ayat (1) dan (3) soal verifikasi partai politik, dan pasal 222 soal presidential threshold.
Namun, mahkamah menyatakan permohonan pemohon dalam uji materi pasal 222 UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan mahkamah mengabulkan permohonan uji materi terhadap pasal 173 ayat (1) dan (3) tentang verifikasi partai politik.
Upaya uji materi ambang batas pencalonan presiden terus berlanjut. Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan Abdulrahim mengajukan uji materi terhadap ketentuan tersebut pada 2020.
Pada 2021, MK memutuskan menolak gugatan Rizal karena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
Dalam Sidang Pleno Khusus Penyampaian Laporan MK Tahun 2021 yang digelar pada 10 Februari 2022, Ketua MK Anwar Usman mengatakan, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 merupakan salah satu undang-undang yang paling sering diuji pada 2021.
Menurut catatan, ada sembilan permohonan uji materi terhadap UU Pemilu sepanjang 2021.
Sementara menurut data Kompas.com dari Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono, MK telah memutus 21 perkara uji materi syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold selama lima tahun, yaitu sejak 2017 sampai 2022.
Total dalam lima tahun, sebanyak 17 permohonan tak dapat diterima, sementara tiga lainnya ditolak dan satu perkara dihentikan karena pemohon meninggal.
Saat ini, enam partai politik non-parlemen tengah bersiap untuk kembali mengajukan uji materi.
Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Noor mengatakan, enam parpol non-parlemen sepakat akan mengajukan uji materi Pasal 222 UU 7/2017 dan meminta presidential threshold dihapuskan.
Afriansyah yakin partai-partai nonparlemen akan memenuhi syarat legal formal untuk uji materi.
Sebab, mereka dirugikan secara konstitusional karena tidak dapat mengajukan capres/cawapres.
Padahal, jika digabungkan, suara keenam partai itu mencapai 13,5 juta suara atau sekitar 10 persen.
“Kami tidak mau lagi dirugikan secara konstitusional di Pemilu 2024. Masak dipakai raihan kursi dan suara parpol di Pemilu 2019. Itu tidak fair. Parpol pemilik suara di 2019 bisa saja menurun di 2024,” ujar Afriansyah.
SUMBER: KOMPAS.COM