Penanews.id, JAKARTA – Terjadi ketidakpastian mengenai tanggal pelaksanaan Muktamar NU ke-34 yang semula direncanakan pada 23-25 Desember 2021 setelah Pemerintah memutuskan PPKM Level 3 menjelang liburan Natal dan tahun baru.
Hal ini menimbulkan suasana yang kurang kondusif di mana tensi kontestasi para kandidat yang terpolarisasi pada dua kelompok besar, yaitu KH Said Aqil Siradj (SAS) dan KH Yahya Cholil Staquf (YCS), semakin intens.
Dikabarkan bahwa kelompok SAS menginginkan Muktamar diundur pada akhir Januari 2022 agar sesuai dengan momen Harlah NU. Sementara itu kelompok YCS menginginkan Muktamar dipercepat pada tanggal 17-19 Desember sebelum berlakunya PPKM.
Repotnya, empat orang yang akan memutuskan hal ini, yaitu Rais Am, Katib Am, Ketum dan Sekjen, sudah pula diasosiasikan dengan dua kelompok di atas. Kondisinya deadlock alias jalan buntu saat ini.
Menenggapi hal tersebut, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand, Prof Nadirsyah Hosen menyarankan agar PBNU melakukan tiga hal penting.
Pertama, keputusan untuk tanggal pelaksanaan Muktamar sebaiknya jangan hanya diputuskan oleh empat orang saja, tapi juga melibatkan Majelis Tahkim yang berisikan 11 ulama sepuh.
“Idealnya Rais Am, Katib Am, Ketum dan Sekjen bemusyawarah bersama dengan 11 ulama dalam Majelis Tahkim, dan juga mendengar langsung persiapan Muktamar dari Ketua SC (Panitia Pengarah) dan Ketua OC (Panitia Pelaksana),” ujar Gus Nadir dalam keterangan tertulisnya yang dikirimkan kepada Republika.co.id, Ahad (21/11).
Menurut dia, tujuh belas orang inilah yang sebaiknya bermusyawarah dan mengambil keputusan bersama. “Musyawarah adalah tradisi para ulama yang harus dijaga kelangsungannya. Majelis Tahkim memang dirancang untuk menengahi berbagai persoalan krusial di Muktamar,” ucapnya.
Kedua, lanjutnya, pertimbangan keputusan tangal Muktamar sebaiknya berdasarkan kondisi obyektif persiapan di lapangan dan juga materi atau bahan Muktamar dalam berbagai komisi (program kerja, bahtsul masail, rekomendasi, dll). Disamping itu, KH Ma’ruf Amin selalu Ketua Majelis Tahkim juga bisa meminta masukan obyektif dari Satgas Covid dalam forum musyawarah tersebut.
“Pendek kata, keputusan harus diambil berdasarkan data dan fakta kondisi obyektif, bukan karena kontestasi kedua kelompok. Dengan demikian kalau secara obyektif bisa dipercepat, kenapa harus ditunda? Sebaliknya, kalau kondisi obyektif memang harus ditunda, kenapa dipaksakan untuk dipercepat? Sesederhana itu sebetulnya,” katanya.
Ketiga, Muktamar NU ke-34 ini memiliki momentum yang sangat penting dalam perjalanan 100 tahun NU. Itu sebabnya tema Muktamar yang dipilih adalah “100 tahun NU: Kemandirian dalam Berkhidmat untuk Membangun Peradaban Dunia”.
Muktamar NU akan menerjemahkan tema penting ini guna membuat semacam peta-jalan (road map) dan cetak-biru (blue print) kesiapan warga NU memasuki abad kedua berkhidmat baik dalam konteks nasional maupun global.
Gus Nadir mengatakan, Muktamar NU bukan hanya soal pemilihan atau regenerasi kepengurusan, tapi lebih besar dari itu, yaitu soal peranan NU dalam mempersiapkan warganya di tengah perubahan sosial.
“Jangan sampai perdebatan masalah penentuan tanggal Muktamar hanya membuat Muktamar seolah sebagai kontestasi pemilihan nakhoda belaka. Akan sangat tragis dan ironis kalau menjelang momen 100 tahun NU, terjadi polarisasi yang amat tajam di tubuh NU. Ini tentu saja akan menganggu kerja keumatan atau khidmat NU ke depannya,” jelasnya.
Lewat ketiga poin penting di atas, Gus Nadir mengetuk nurani para kandidat dan tim suksesnya agar mengedepankan semangat berkhidmat, ketimbang larut dalam kontestasi.
Menjadi sebuah harapan bagi semua warga NU agar Muktamar NU ke-34, tanggal berapapun kelak diputuskan waktu pelaksanaannya, bisa menjadi Muktamar yang bermartabat, berkualitas dan bermanfaat (3B).
Gus Nadir juga berharap agar para Kiai dan masyayikh yang zuhud, ikhlas dan tak masuk kubu-kubuan, agar selalu berkenan mendoakan persiapan dan pelaksanaan Muktamar sehingga semuanya diridhai oleh Allah Swt.
SUMBER: republika.co.id