Sepulang dari Sekolah Filsafat yang diadakan Konsensus Bhiruh Dheun di padepokan Al Haq Ketapang kabupaten Sampang. Cak Badruz sangat girang sekali. Itu karena ia banyak mendapatkan banyak pemahaman tentang kaidah berpikir filosofis. Sesampainya di Bangkalan, sekitar jam 23:05 WIB ia mencuahkan hatinya (curhat) kepada peserta lainnya. Ia menyampaikan keinginan-keinginannya yang akan dilakukan di masa depan.
Cak Badruz merupakan mahasiswa semester 3 kampus STITAL Galis Bangkalan. Dalam curhatnya, ia menyampaikan kemantapan dirinya menjadi filosof. Cita-citanya adalah memberikan pencerahan berpikir kepada mahasiswa dan pemuda-pemuda yang ada di kabupaten Bangkalan.
Tiga hari digembleng dalam sekolah filsafat, ilmu yang semula ia takuti untuk dipelajari, kini menjadi bagian dari dirinya. Saat sekolah filsafat, ia mempelajari tentang kerangka berpikir rasionalis, empiris, positifistik, pemikiran Karl Marx hingga pemikiran Antonio Gramsci.
Kerangka berpikir rasionalis mengambil 3 perwakilan tokoh pemikir rasionalis, yakni; Rene Descartes, Spinoza, dan Lebniz. Untuk perwakilan tokoh pemikir empiris, ia mempelajari Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan David Hume. Kedua aliran berpikir ini, yang Cak Badruz pahami betolak belakang secara ekstrim. Namun, keduanya mampu disatukan oleh Emmanuel Kant, hingga menjadi madzhab pemikiran Kritis.
Madzhab pemikiran kritis hingga berlanjut pada gaya berpikir positifistik juga dipelajari oleh Cak Badruz. Berpikir positifistik hingga menjadi sebuah isme modern mengandung kecerdasan nalar. Positivisme mengandaikan pendekatan masalah secara metodik, semua hipotesis tidak akan lolos menjadi sebuah kebenaran terkecuali sudah lolos dari falsifikasi.
Betapa menurut Cak Badruz, positivisme menyumbang kekuatan nalar untuk mengurai fakta, namun tentunya masih ada kelemahan dari positivisme. Seringkali positivism terjembak pada generalisasi dan ternyata tidak bebas nilai. Alih-alih menggiring pengetahuan menjadi objektif, ternyata tidak bisa semerta-merta terbebas dari subjektifitas.
Namun, serapuh-rapuhnya positivisme tetap memberikan sumbangsing pada abad modern. Kekuatannya, bisa dirasakan dalam pandangan Karl Marx. Pandangan Marx yang sangat tajam dalam menelanjangi Kapitalisme, sungguh luar biasa. Bagaimana tidak? Mungkin hubungan antara Majikan dan Buruh dalam paradigma kerja merupakan hubungan yang alamiah.
Buruh meluangkan waktu untuk bekerja pada majikan. Kemudian majikan membayar hasil kerja buruh dengan bayaran yang sudah disepakati, tentu dengan bayaran minim, jika dihitung pengeluaran buruh dengan keluarganya perbulan. Ini jelas, ada nuansa ketidak adilan.
Buruh dengan sedikit waktu yang dimilikinya, dengan keluarga dan masyarakat, bahkan tak dapat menikmati hari libur dengan semestinya, menjadi celah penilaian bahwa sebenarnya buruh mengalami ketidak adilan sistemik. Buruh tidak dapat memperkarakan keadaanya, karena ancamannya dipecat.
Buruh tidak diberikan peluang untuk berpikir kritis atas nasibnya. Dengan demikian menyebabkan buruh menjadi teralienasi dari diri dan lingkunganya hanya demi kapital yang tak seberapa. Hal inilah, yang oleh Karl Marx dianggap sebagai penderitaan manusia modern, tepatnya Eropa waktu itu.
Alienasi merupakan sebuah keadaan batin kaum buruh yang kadang tidak disadari oleh buruh sendiri, oleh Marx diangkat menjadi salah satu diskursus ketidakadilan bagi kaum buruh. Dari konsep alienasi inilah, diharapkan kaum buruh terperanjat sadar dari ketertindasan. Saat ketertindasan mencapai titik nadir, selanjutnya perlawanan revolusioner akan terjadi. Buruh harus menguasai infrastruktur agar hidupnya menjadi setara.
Kesetaraan hidup inilah cita-cita yang hendak ditancapkan dalam ranah sosial keadaban, hingga akhirnya menjadi sosialisme.
Namun, banyak kalangan pemikir memberi kritikan pada alur pikir Marx. Dengan menganggapnya Utopis.
Utamanya, tentang syarat terjadi revolusi yang sangat berat. Ketidak adilan harus mencapai titik nadir. Dan tentu, syarat ini sangat sulit dipenuhi, pastinya ada upaya dari kaum kapitalis melakukan segala upaya agar kaum buruh tidak merasa terdzalimi. Semisal dengan wacana subtil tentang rasa memiliki pada tempat kerja (pabrik). Bener-bener halus lus kata Cak Badruz…haha
Ia melanjutkan, “satu sisi, kapitalisme sungguh sangat tidak adil dalam prakteknya. Namun, lepas dari lingkarannya sangat sulit sekali. Di satu sisi, kita perlu menyadari diri yang hidup bersama dengan diri lain. Kesadaran ada diri lain di sekeliling kita adalah sikap sosialis.
Saya sendiri masih berkecendrungan pada praktik kapitalis, tapi tentu Saya tidak akan bersikap individualis ( ngala’ nyamannah dhibi’ ) dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”, demikian kata Cak Badruz.
Kemudian Cak Badruz mempunyai ide cemerlang untuk memediasi kapitalisme dan sosialisme, ia mengajukan istilah; “KAPITALIS CA’ KANCA’AN”. Artinya bahwa menjadi kapitalis dan sosialis sekaligus dengan kedua teori itu dipadukan lalu Praktik kapitalisme perlu dibatasi oleh sosialisme sebagai kontrol bahwa kita juga hidup didunia yang sama-sama membutuhkn. kira-kira begitu curhatan seorang Badrus kepada penulis dan sekelompok temanya di warung kopi Angringan belakang stadion Bangkalan.
Penulis: zuhud mahasiswa surabaya (Koboy Kampus )