Kita Di Mana?
Ada beberapa hal menarik yang patut dicermati dalam peristiwa politik belakangan ini.
Pertama, pemerintah, baik yang berkantor di Medan Merdeka maupun Kebon Sirih, permisif atau tidak berdaya terhadap pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh massa. Ini memberi kita pelajaran: kumpulan massa, dalam jumlah yang sangat besar, adalah pengecualian dari aturan. Artinya, kalau yang melanggar itu banyak, dia jadi hukum sendiri yang sifatnya ‘kekecualian’. Kalau yang melanggar lalin itu satu-dua orang, polisi akan menindak. Kalau di sebuah jalan semua orang melanggar lalin, polisi kewalahan, dan akhirnya membiarkan pelanggaran. Tentu saja ini hukum di rezim mobokrasi, bukan demokrasi. Hukum dibentuk oleh kerumunan. Siapa yang kerumunannya paling banyak, dialah yang membentuk hukum.
Kedua, ketidakberdayaan ini kontras dengan kantor istana yang tampil gagah di periode kedua. Kegagahan ini menjelma dalam rasa ‘tidak punya beban’ yang mewujud dalam berbagai kebijakan. Dimulai dengan penyusunan kabinet kerja jilid II, penampilan gagah istana dilanjutkan dengan revisi UU KPK, revisi UU Minerba, dan pengesahan UU Cipta Kerja. Istana tampil dengan sangat percaya diri, otonom, dan dalam beberapa hal memunggungi oposisi publik. Suara-suara publik yang menolak pelemahan KPK dan pendalaman liberalisasi melalui UU Cipta Kerja diabaikan karena istana kuat dan tidak punya beban. Inilah pemerintah, dalam istilah Dahlan Iskan, yang paling kuat sepanjang sejarah.
Ketiga, massa yang bermarkas di Petamburan, dalam anatomi gerakan Islam, adalah ormas radikal. Ini jika radikal didefinisikan sebagai gerakan yang punya arah mengubah ideologi negara. Sudah maklum bersama, visi ormas ini adalah NKRI Bersyariah. Ikhtiarnya, sederhananya, adalah mengembalikan Piagam Jakarta. Pancasila yang dsepakati sebagai ideologi negara adalah Pancasila yang disahkan pada 18 Agustus 1945, bukan Pancasila 1 Juni atau 22 Juni. Pidato Sukarno 1 Juni dan Piagam Jakarta 22 Juni adalah bagian historis dari lahirnya Pancasila. Tetapi, Pancasila yang menaungi semua, adalah Pancasila yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Upaya untuk mengubah ini, dari arah kanan maupun kiri, adalah ancaman terhadap ideologi negara. Sekarang kita perhatikan visi Istana ketika menyusun kabinet kerja jilid II. Agar semakin gagah memerangi radikalisme dari ‘arah kanan’, Presiden mengangkat Menteri Agama dari pensiunan jenderal tentara. Kita semua, tentu saja, menghormati hak prerogratif Presiden dan menangkap niat mulia itu. Tetapi, setahun setelah menjabat, tidak ada aura kegagahan dalam hal dimaksud, termasuk sikapnya yang ambivalen terhadap ormas yang bermarkas di Petamburan. Ini bentuk kontradiksi lain antara cita dan fakta.
Keempat, kita semua tahu ini adalah pemanasan politik yang arahnya belum ketebak. Ini akan jadi permainan catur antara orang nomor satu di kantor Medan Merdeka, Kebon Sirih, dan Markas Petamburan. Arahnya tidak jauh dari kontestasi politik. Biasanya, aktor nomor 1 paling jago menggunakan jurus ‘nabok nyilih tangan.’ Tetapi, saya berharap, NU dan kader-kadernya jangan mau jadi ‘tangan’ yang dipinjam untuk nabok itu. Kita tidak perlu ikut liga narasi ‘Lonte’ dan ‘Tukang Obat’. Kita perlu fokus mempertajam isu keadilan sosial, termasuk menyoal UU Cipta Kerja.
MKS