
Oleh: Kalis Mardiasih
Sad Bois Club konon terbentuk untuk menampung klangenan para pecinta Lord Didi Kempot, begitu cara mereka menyebut maestro campur sari asal Solo itu. Didi Kempot adalah legenda musik Jawa yang terkenal dengan kompilasi lagu-lagu patah hati.
Subjek-subjek dalam lagu ciptaan Didi Kempot bisa patah hati di mana saja, mulai dari Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, Pelabuhan Tanjung Mas, sampai Terminal Kertonegoro Ngawi.
Agus Mulyadi menyebut tempat-tempat sedih dalam jejak patah hati ala Didi Kempot itu sebagai lumbung-lumbung kenangan.
Para penikmat lagu Didi Kempot bisa menyanyi bersama dalam sebuah konser. Mereka berteriak dan tetap bergoyang meskipun teks lagu sesungguhnya memuat pesan kesedihan yang paripurna.
Jumlah mereka, jika disatukan, mungkin ratusan ribu. Barangkali juga jutaan. Jumlah itu jelas bukan hanya statistik, lebih dari sekadar barisan massa.
Anak muda pecinta lagu pop campur sari adalah subjek kebudayaan yang mengimani sebuah nilai mapan berupa musik jawa dengan identitas khas yang melingkupinya.
Dalam proses mengidolai Didi Kempot yang telah berkiprah selama puluhan tahun, terdapat lipatan kenangan kepada tempat, para manusia, dan seperangkat nilai kebudayaan otentik.
Ada cerita perempuan yang tak pulang menjumpai kekasihnya kembali karena sebuah pekerjaan. Ada seorang pemuda yang mengikhlaskan kisah cintanya sebab situasi ekonomi yang tak sepadan.
Kronik kekalahan khas Didi Kempot adalah suara hati para pemuda yang mengalami realitas pertarungan untuk keberhasilan dan kegagalan diri masing-masing. Suara-suara ini lalu menjadi gelombang.
Bahasa kebudayaan otentik yang terbentuk dari kantong-kantong seperti Sad Bois Club tak bisa dianggap remeh. Subkultur jenis ini tidak punya kepentingan politis namun diikat dengan rasa kebersamaan yang unik berupa bahasa lokal, emosi kenangan dan perasaan senasib.
Oase keragaman dari sudut-sudut lain di negeri ini selalu merupakan upaya pemecah kejenuhan kepada keseragaman. Kepala berita di media yang selalu kabar dari Jakarta. Demikian pula kabar politik menyoroti para elit yang tengah bertikai.
Sementara, ada pemuda Atmojo, seorang jamaah solat Jumat dari pucuk dusun Kemuning di Gunung Lawu yang terkekeh. Khotib solat Jumat meminta mereka meniru para artis yang ramai-ramai berhijrah.
Hijrah, itu lho maksudnya, jadi lebih saleh dan mendekatkan diri kepada Allah. Trus, awakku dikon ngopo? Atmojo seorang petani sayuran yang sudah melek sedari hari belum subuh. Ia mendistribusikan sayur ke pasar, mengurusi lahan, dan menjadi warga desa yang baik sedari dulu.
Kalau dia, apalagi istrinya diminta berdandan lalu bergaya ala artis-artis yang pakaiannya melambai-lambai itu, tentu saja ia tak mampu.
“Bojoku kalau nyawah ya pakai kaos sama celana kolor, kerudungan kain di kepala sama pakai caping biar nggak kepanasan. Ngasih ceramah itu mbok soal berdagang yang jujur biar jualan hasil tani ini nggak terlalu banyak dicurangi tengkulak,” gerutunya.
Upaya penyeragaman pakaian atau penyeragaman ritme ibadah tak sesuai dengan realitas sehari-hari manusia dengan pengaruh geografis dan sosial tertentu.
Sebagian keluarga besar yang seperti Atmojo, berprofesi sebagai petani, barangkali berlebaran dengan begitu gembira. Di pekarangan, mereka memanen tewel (buah nangka muda).
Mereka menanam kangkung, bayam, sawi, dan kacang-kacangan yang hampir setiap hari bisa dipanen. Hasil berjualan sayur ikat tentu tak besar, tapi cukup untuk biaya harian. Aset lain yang dihitung jangka panjang, adalah tanaman buah musiman, padi, kambing dan sapi.
Selepas bercakap-cakap, ada seorang tetua memimpin doa. Redaksi doa adalah permohonan untuk keselamatan keluarga, kesuburan tanah dan harapan akan anak-anak yang salih.
Pelajaran pulang menjadi manusia di kampung halaman adalah pertama, betapa damai hidup bebas dari acara dagelan debat politik elit di televisi. Kedua, betapa menyenangkan tak punya waktu luang untuk beradu komentar perihal siapa yang paling hebat dalam beragama di media sosial.
Pasar industri mencoba menyeragamkan identitas semua manusia sebagai konsumen massal sebuah produk. Sementara, kampung halaman dan alam memberi penghormatan kepada manusia sebagai jiwa dan rasa yang hidup.
Sad Bois Club adalah upaya jutaan anak muda yang tersebar di kota mana saja untuk pulang melihat kedirian masing-masing. Kembang tebu sing neng sawah kutho, ora garing nadyan mongso ketigo (bunga tebu di sawah kampung halaman, tidak kering meski di musim panas).
Realitas dalam lirik itu dibentuk dari musim dan sawah di perkotaan. Teks lagu memang bukan sebuah dalil yang jadi dogma, tapi keindahan sebuah syair seringkali lebih kokoh untuk memahami cinta kasih.
Anak muda yang mendeklarasikan diri sebagai barisan peternak lara ati ala Kempoters, sebagian besar pergi ke kota untuk bekerja.
Ada yang berangkat begitu saja sebagai sebuah keharusan, ada yang terlempar tanpa sempat merencanakan masa depan, ada yang memang menelusuri satu persatu jembatan dari sebuah dendam bernama cita-cita dari masa lalu.
Satu hal yang paling pasti, sebagai sebuah identitas kebudayaan, Sad Bois Club adalah sebuah rasa bangga. Sebuah jati diri manusia utuh yang emoh didikte para fasis nilai dari mana pun sumbernya.
Ketika para elit sibuk beradu dusta dan irama kota makin menggila, ada gelombang kebudayaan anak muda yang menikmati hari bersama kopi dan obrolan remeh temeh tentang hal-hal yang dekat dan mungkin untuk dicapai.
Anak muda pecandu Lord Didi hanya ingin bersenandung dalam irama patah hati, tapi begitulah cara mereka berbahagia.
======
Sadbois club buat saya selalu ada di desa, bukan di kota.
*)Penulis aktivis Gusdurian