
Penulis: Syamsul Hadi
Baca Juga:
Sejak 2019 Bangkalan sudah tak lagi menyandang predikat daerah tertinggal. Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi nomer 79 tahun 2019 tentang Penetapan Kabupaten Daerah Tertinggal yang Terentaskan Tahun 2019.
Lepas dari kategori kabupaten tertinggal bukan berarti persoalan di Bangkalan sudah selesai, malainkan masih sangat amat kompleks persoalan di Bangkalan yang belum bisa dipecahkan baik dalam aspek pendidikan, kemandirian ekonomi, sosial dan lain sebagainya.
Dalam program pembangunan nasional, yang kemudian diatur dalam Perpres No. 80 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi, Bangkalan menjadi salah satu objek dari pada pembangunan tersebut. Sehingga, siap atau tidak, Bangkalan pada 2021 akan melaksanakan pembangunan besar-besaran, khususnya pembangunan infranstruktur.
Apabila kita berbicara jujur, secara SDM Bangkalan belum siap. Dan mudah-mudahan program ini tidak menjadi perwujudan dari ungkapan Tan, masyarakat Bangkalan menjadi tamu di rumah sendiri. Maka adanya percepatan pembangunan ekonomi sebagaimana dimaksud di atas memiliki dua kemungkinan, antara semakin baik atau sebaliknya.
Jika kita melihat lebih dekat ke kecamatan, maka sebetulnya di Bangkalan masih teramat banyak kecamatan yang tergolong kecamatan tertinggal. Dari 18 kecamatan di Bangkalan, 8 kecamatan tercatat sebagai kecamatan tertinggal dan satu di antaranya adalah kecanatan Kokop.
Penulis akui, kecamatan Kokop tanah air penulis sendiri. Kecamatan Kokop menjadi desa tertinggal karena dari 13 desa, secara spesifik 2 tergolong desa tertinggal, 2 desa sangat tertinggal dan 9 desa berkembang. Oleh demikiran di Kokop belum ada desa yang layak dikatakan maju. Bahkan dari 9 desa berkembang tersebut perlu dipertanyakan kembali sematan desa berkembang dimaksud.
Sederhananya, diantara indikator desa tertinggal adalah ketersidiaan air bersih. Dan realitasnya, sampai saat ini di kecamatan Kokop saat kemarau tiba masyarakat sangat amat kesulitan mendapatkan air bersih, bahkan untuk mandipun terkadang harus berjalan ke desa atau kecamatan sebelah. Belum lagi berbicara pendidikan, pelayanan kesehatan serta kemandirian ekonimi.
Maka tidak heran dalam judul tulisan ini, Kokop Kecamatan Tertinggal. Jika dianalogikan dengan pertumbuhan manusia, Kokop adalah anak belia yang baru belajar jalan sedangkan yang lain sudah berlari bahkan sudah bisa bermain sepak bola.
Artinya, dalam tulisan ini yang kemudian mengangkat beberapa sisi negatif Kecamatan Kokop bukan lantas ingin menjerembabkan. Tidak. Melainkan harapan besarnya adalah sebagai bahan evaluasi berbenah diri, serta sebagai motifasi untuk mewujudkan Kokop yang lebih baik kedepannya.
Sebetulnya, Kokop memiliki putra daerah yang lumayan banyak, 1 di DPRD Provinsi, 5 di kursi DPRD Kabupaten. Maka, berbicara corong kecamatan Kokop untuk menyuarakan keluh kesah masyarakat di kanca elitis sudah lebih dari kata cukup. Selanjutnya adalah maukah di akar rumput untuk berjalan bersama membangun peradaban di Kokop.
Teorinya tetap, bahwa untuk mencapai cita bersama dengan gaung yang lebih keras, maka harus saling sinergi dari semua elemen, Masyarakat, anggota Dewan baik provinsi atau pun kabupaten, utamanya para pemuda dan mahasiswa.
Jika bukan masyarakat Kokop sendiri yang bergerak dan menjemput bola, lantas siapa? Ada kutipan ungkapan menarik orang Madura “Mon benni kita se ngecat, pager roma dibik, pas sapah?” (Kalau bukan kita yang mengecat sendiri pagar rumah kita, lantas siapa?)
Menunggu masyarakat Konang atau Tanjung Bumi membangun peradaban di Kokop adalah hal yang utopis. Kita sendiri lah yang harus menjaga dan merawat rumah kita.
Penulis *Ketua Persatuan Mahasiswa Kokop (PMK)