
penanews.id, JAKARTA – Sebanyak 21 anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol. Seperti saat diusulkan pada 2016 lalu, RUU Minuman Beralkohol ini kembali menuai polemik.
Antropolog dari Universitas Indonesia, Raymond Michael Menot menilai para pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol menggunakan cara berpikir yang sempit. Menurut Raymond, larangan minuman beralkohol seakan mengabaikan aspek antropologis dan historis nusantara.
Baca Juga:
“Mereka orang-orang yang berpandangan sempit dan tidak mengenal Indonesia,” kata Raymond kepada Tempo, Ahad, 15 November 2020.
Raymond mengatakan minuman beralkohol perlu dilihat dari berbagai aspek, mulai dari tradisi hingga ekonomi. Ia pun menilai naskah akademik RUU Larangan Minuman Beralkohol tak memuat kajian komprehensif ihwal aspek-aspek tersebut.
Antropolog yang meneliti tentang minuman beralkohol ini mengatakan, minuman-minuman yang ada di Tanah Air sudah ada sejak sebelum masuknya bangsa Barat. Catatan tentang nama-nama minuman beralkohol terekam dalam berbagai prasasti kerajaan-kerajaan masa lampau.
Raymond menuturkan, tradisi minum alkohol menjadi salah satu cara masyarakat beradaptasi terhadap udara dingin atau berangin. Minuman beralkohol juga memiliki fungsi sosial dalam ritual adat.
Fungsi sosial alkohol terlihat pula dari kebiasaan minum alkohol secara bersama-sama atau komunal. Dalam ritus ibadah di agama Kristen, Katolik, dan Hindu, minuman beralkohol juga digunakan sebagai simbol darah Yesus atau sesaji untuk para dewa.
“Kalau bicara dari aspek itu semua, minuman alkohol itu tujuannya bukan untuk mabuk-mabukan,” ujar Raymond.
Raymond juga membantah klaim pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol yang mengaitkan alkohol dengan kriminalitas dan kematian. Menurut Raymond, penelitiannya dengan kriminolog menemukan tak ada kaitan antara minuman beralkohol dengan kriminalitas.
Terkait kasus kematian, Raymond mengatakan itu disebabkan oleh oplosan. “Oplosan itu racun, jangan dikategorikan sebagai minuman,” kata Raymond.
Pengusaha minuman beralkohol tradisional bermerek Pondoh dari Yogyakarta, Rangga Purbaya menilai RUU Larangan Minuman Beralkohol ini sebuah kemunduran. Ia mengatakan aturan ini akan berdampak untuk industri, baik yang belum berizin maupun yang berizin.
Rangga mengatakan pemerintah seharusnya membuat regulasi bukan untuk melarang, tetapi meningkatkan kualitas minuman beralkohol. Misalnya dengan memastikan setiap produsen minuman beralkohol memenuhi standar kesehatan.
“Harusnya regulasi untuk meningkatkan kualitasnya sehingga produsen bisa mencapai standar keamanan dan kesehatan yang ada,” kata Rangga kepada Tempo, Ahad, 15 November 2020.
Bukan cuma dinilai abai pada keberagaman dan sejarah, RUU Larangan Minuman Beralkohol juga dianggap membuka keran overkriminalisasi. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan pendekatan larangan minol ini akan berdampak negatif bagi peradilan pidana di Indonesia.
Erasmus menyoroti ketentuan pidana bagi siapa pun yang mengonsumsi minuman beralkohol. Dalam RUU tersebut, siapa pun yang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol racikan diganjar hukuman penjara paling sedikit 3 bulan dan paling lama 2 tahun atau denda minimal Rp 10 juta dan maksimal Rp 50 juta. “Pendekatan prohibitionist terhadap alkohol adalah pendekatan usang,” kata Erasmus.
Salah satu pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol, Illiza Sa’aduddin Djamal berkukuh RUU tersebut mendesak dibahas. Illiza mengatakan beleid ini diperlukan untuk menyelamatkan generasi bangsa dari bahaya penyalahgunaan alkohol.
Illiza bahkan terbuka mengganti judul RUU Larangan Minuman Beralkohol agar lebih diterima para koleganya dan publik. Misalnya dengan menghapus kata larangan atau menggantinya dengan kata pengendalian atau pengetatan.
“Yang terpenting di dalamnya kami tetap mengatur tentang pelarangan selain yang dikecualikan,” kata Illiza kepada Tempo, Sabtu, 14 November 2020.
Illiza pun meyakini RUU Larangan Minuman Beralkohol akan masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021 yang sebentar lagi ditetapkan DPR bersama pemerintah. Sebab saat ini, RUU tersebut sudah tahap harmonisasi di Badan Legislasi DPR.
Secara politik, dukungan terhadap RUU Larangan Minuman Beralkohol sejatinya lemah. Tiga fraksi besar di DPR mengisyaratkan tak setuju dengan rancangan tersebut, yakni Fraksi Golkar, PDI Perjuangan, hingga NasDem.
Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan berlanjut atau tidaknya RUU Larangan Minuman Beralkohol tergantung sikap politik setiap fraksi. Supratman pun mengklaim DPR akan memperhatikan dinamika di publik.
“Itu pasti akan jadi pertimbangan DPR sebelum mengusulkannya menjadi usul inisiatif,” kata Supratman kepada Tempo, Jumat, 13 November 2020.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly belum banyak berkomentar ihwal sikap pemerintah terhadap RUU Larangan Minuman Beralkohol ini. Ia tak menjawab saat ditanya apakah pemerintah ingin membahas RUU tersebut dalam Prolegnas 2021.
“Kami lihat dulu deh. Baleg sendiri saya kira masih ada yang berbeda pendapat,” kata Yasonna melalui pesan singkat, Ahad, 15 November 2020.
Sumber: tempo.co