Oleh: Amin Mudzakkir
Terus terang saya semakin jengkel dengan para buzzer pasca-2019. Bukan apa-apa, alih-alih mencari titik temu di antara kelompok-kelompok masyarakat, mereka lebih suka mencari titik pisah, pertengkaran, polarisasi. Pokoknya persepsi masyarakat mengenai sesuatu terus menerus dibikin terbelah. Tujuannya apalagi selain politik menuju 2024.
Berdasarkan beberapa survey hingga hari ini, figur terkuat yang mungkin akan maju di 2024 adalah Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Di luar ini, popularitas dan elektabilitasnya masih rendah. Saya sendiri melihat validitas survey-survey tersebut memang benar adanya.
Dalam konstelasi ini, posisi Prabowo sangat teruntungkan. Sementara dia masuk ke dalam kekuasaan, persepsi masyarakat terhadapnya terjaga maksimal. Cepat atau lambat, para buzzer pasca-2019 yang sebelumnya mendukung Jokowi akan mengalihkan dukungannya kepada Prabowo, baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Kita lihat saja dalam perjalanan ke depan.
Sementara itu, Aneis Baswedan akan menjadi sasaran tembak berbagai semburan berita buruk. Tentu saja Anies adalah politisi yang tahu bagaimana memanfaatkan sentimen publik. Dia akan berkelit ke sana ke mari, termasuk mencantelkan dirinya pada figur seperti HRS. Dia paham betul HRS adalah figur yang mempunyai pengaruh kuat di tengah umat.
Lalu dari sudut pandang kita sebagai publik, apa artinya polarisasi itu? Tidak ada! Sama seperti yang sudah-sudah, polarisasi di media sosial, khususnya, adalah permainan politik berbasis persepsi psikologis dan kultural. Padahal tidak jarang apa yang dipersepsikan bertolak belakang dengan kenyataan.
Tetapi itulah cara kerja demokrasi neoliberal saat ini. Sebagian legitimasinya terletak pada persepsi publik yang dibentuk oleh logika algoritmik media sosial. Dukungan atau penolakan didasarkan pada bacaan publik terhadap postingan-postingan atau cuitan-cuitan yang sebentar-sebentar, terpotong-potong, hanya untuk memuaskan dahaga psikologis dan obsesi kulturalnya.
Mungkin publik mengalami seolah-olah kepuasan atau kemenangan, tetapi itu mirip dengan orgasme palsu: merintih, seolah-olah mencapai puncak kenikmatan, untuk sesuatu yang entah…
*)artikel ini diambil dari status Facebook penulis