Oleh: Zen RS
Kita membaca kabar tentang penderitaan para tenaga kesehatan yang bertarung di garis depan melawan pandemi COVID-19. Mereka berduel dengan virus tanpa peralatan yang memadai, beberapa di antaranya sudah tumbang karena kelelahan, bahkan ada yang terpapar, dan yang tersedih: sudah ada yang gugur.
Baca Juga:
PB IDI mengonfirmasi nama-nama dokter yang gugur itu. Mereka adalah: dr. Hadio Ali SpS, dr. Djoko Judodjoko SpB, dr. Laurentius P, SpKj, dr. Adi Mirsaputra SpTHT, dr. Ucok Martin SpP, dr. Tony D Silitonga.
Saya teringat beberapa dokter yang lain. Izinkan saya memulai cerita ini dengan kutipan milik salah satu dari mereka yang paling terkenal:
“Aku mengalami kontak yang sangat dekat dengan kemiskinan, kelaparan, dan penyakit, dengan ketidakmampuan untuk mengobati anak-anak yang sakit karena kekurangan uang… sampai pada titik [menyaksikan] bagaimana seorang ayah dengan pasrah menerima kematian anaknya seakan sebagai suatu kecelakaan yang tidak penting. Aku mulai menyadari bahwa ada hal yang sama pentingnya dari sekadar menjadi terkenal: Aku ingin membantu banyak orang.”
Kalimat-kalimat yang menggugah itu diucapkan oleh Che Guevara pada 19 Agustus 1960 di hadapan para milisi Kuba. Dalam edisi Inggris terjemahan Beth Kurti, pidato itu dijuduli “On Revolutionary Medicine”.
Che, kita tahu, pernah melakukan perjalanan mengelilingi Amerika Latin di masa mudanya. Seperti yang bisa kita saksikan dalam film sangat populer, “The Motorcycle Diaries”, Che bukan hanya mengalami petualangan-petualangan seru nan mendebarkan, tapi juga pengalaman-pengalaman pedih berjumpa dengan orang-orang sakit yang tak terurus. Perjumpaan-perjumpaan itu menjadi dasar sangat penting yang kelak membimbing pilihan hidupnya untuk menjadi seorang revolusioner yang tak bisa diam melihat penindasan.
Di salah satu titik perjalanannya, ia pernah tinggal selama beberapa waktu bersama para penderita lepra di Peru. Mereka diasingkan di sebuah tempat yang menyerupai sebuah koloni. Che berada di tengah para penderita itu tepat saat ia sedang berulang tahun yang ke-24.
Di koloni lepra itulah ia menulis kalimat ringkas di salah satu halaman catatan hariannya: “Bentuk tertinggi dari solidaritas dan loyalitas kemanusiaan muncul di antara orang-orang yang kesepian dan putus asa.”
Bertahun-tahun setelahnya, saat Che sudah matang sebagai seorang revolusioner, ia mencoba membesarkan hati para tenaga kesehatan yang berada di garis belakang. Pidato “On Revolutionary Medicine” pada dasarnya adalah usaha Che untuk memantapkan hati mereka betapa kemenangan dalam perang tak hanya ditentukan para pengokang bedil yang merayap di hutan-hutan, rawa-rawa, paya-paya, atau di lorong-lorong kota. Che menegaskan: perang, atau revolusi, musykil dimenangkan tanpa sumbangsih para perawat, ahli farmasi, petugas laboratorium di rumah sakit, dan terutama para dokter.
Che mengakui bahwa dalam situasi-situasi tertentu boleh jadi akan terlihat memalukan jika tetap “anteng” berada di sisi orang yang terluka saat rekan-rekannya sedang sibuk bertempur dan bertaruh nyawa. Tapi, Che dengan tegas mengingatkan, dalam perannya sebagai seorang gerilyawan dan seorang revolusioner, dokter harus tetap selalu menjadi dokter.
“Dia harus terus menjadi dokter, yang merupakan salah satu tugas paling indah dan salah satu yang paling penting dalam perang,” tegas Che.
Mungkin karena itu pulalah maka Dr. Tjipto Mangonekosoemo dengan mudah menepikan tugas-tugas politiknya sebagai salah satu komisioner Boedi Oetomo demi memanggul tugas “lama” sebagai dokter guna merawat korban-korban penyakit sampar di Malang Selatan.
Di tengah kesibukan Tjipto menggeluti kerja-kerja politik pergerakan [r]evolusioner di Boedi Oetomo itu, terdengar kabar mengenai menjalarnya wabah sampar di Jawa pada 1910, khususnya di Jawa Timur. Wabah sampar itu masuk dari pelabuhan Surabaya lewat tikus-tikus yang menyusup di karung-karung beras yang didatangkan dari Burma. Korban pertama yang tercatat muncul di Turen dan sejak itu, sampar menjalar dengan cepat [lihat buku Death and Disease in Southeast Asia, khususnya di bab “Plague in Java” yang ditulis Terrence Hull].
Saat itu sedikit dokter yang mau turun menangani wabah sampar di Malang. Dokter-dokter kulit putih cenderung lebih suka mengurusi orang-orang sebangsanya. Banyak dokter Jawa yang enggan turun ke Malang karena ketakutan bakal terkena sampar. Fasilitas barak bagi orang kulit putih penderita sampar pun jauh lebih baik daripada barak-barak untuk orang bumiputera.
Dalam situasi seperti itulah, Tjipto orang pertama yang mendaftarkan diri sebagai sukarelawan yang akan terjun langsung di pusat penyebaran wabah di Malang. Tjipto melakukan penyuluhan, pengobatan, dan menerima konsultasi dari para pengidap sampar dengan tanpa rasa takut. Jika dokter lain melakukan tugasnya saat itu dengan mengenakan sarung tangan dan masker, Tjipto tidak sama sekali.
Dia berjalan dari satu desa ke desa lainnya, dari satu barak ke barak lainnya, dari satu rumah ke rumah lainnya. Di tengah rasa takut yang membadai di semua kalangan yang saat itu tinggal di Malang, Tjipto seperti “kunang-kunang” yang berpendaran di tengah udara yang gelap lagi suram oleh duka dan petaka.
Maka, selepas menunaikan tugasnya di Malang dengan selamat, apa lagi yang harus dia takutkan jika maut wabah sampar pun bisa dia atasi? Jangan heran jika setelah itu, aktivitas politik Tjipto pun semakin radikal. Dari Boedi Oetomo yang evolusioner, ia bergabung dengan Indische Partij yang lebih revolusioner.
Di sana, ia bukan hanya bergabung dengan Douwes Dekker, tapi juga Soewardi Soerjaningrat. Orang yang kelak berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara ini, bukan hanya seorang pangeran dari wangsa Pakualaman, tapi juga pernah duduk di bangku sekolah kedoteran STOVIA walau tidak selesai. Dia juga pernah menggeluti profesi yang terkait dengan kedokteran di sebuah apotik di Jogja. Tapi karena ketahuan banyak menulis artikel, Soewardi pun dipecat.
Indische Partij tak berumur panjang. Tapi organisasi ini mewariskan sebuah pamflet legendaris yang ditulis si penjaga apotik Soewardi, “Als Iks Nederlander Was” [Andai Saya Seorang Belanda]. Pamflet yang menyerang perayaan kemerdekaan Belanda dari pendudukan Prancis itu jadi penyebab dibuangnya triumvirat Soewardi-Dekker-Tjipto.
Apakah dengan itu Tjipto jadi tunduk. Sekali lagi, apa yang harus ditakutkan jika wabah sampar pun sudah ia datangi? Dan, begitulah, Tjipto tak pernah mau tunduk atau melunakkan garis politiknya. Dia terus melawan dengan caranya sendiri.
Tjipto pernah dengan nekat memasuki alun-alun Surakarta sambil menaiki delman. Itu tindakan subversif karena hanya Sunan Pakubuwana saja yang boleh memasuki alun-alun dengan menaiki kereta. Ini perlawanannya yang paling telanjang terhadap feodalisme Jawa. Terhadap politik rasial pemerintah kolonial, Tjipto pernah dengan seenak udelnya memasuki societet [tempat pesta orang-orang kaya kulit putih] dengan mengenakan pakaian Jawa dan lalu selonjoran di lantai sambil menghisap kretek.
Pembuangan pertama itu terbukti tak membuatnya kapok. Dia pun dibuang kembali ke beberapa tempat: Bandaneira, Makassar, Sukabumi, dan terakhir Jakarta.
Penyakit asma yang dideritanya membuat Belanda mengajukan sebuah tawaran negosiasi: lupakan dan jauhi politik, maka dia akan mendapat kebebasan. Tjipto menolak itu. Dia wafat saat Jepang sudah menduduki Jawa. Pada 8 Maret 1943, Tjipto menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam status luhur: menolak tunduk!
Cukup jelas, bukan, mengapa ada sebuah rumah sakit, salah satu rumah sakit paling penting di negeri ini, dinamai Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo.
Sungguh luar biasa jika pengalaman Tjipto di Malang itu, hampir tiga dekade kemudian, menemukan pengejawantahannya secara memukau pada sosok dr. Bernard Rieux, karakter utama novel hebat La Peste karya Albert Camus [edisi Indonesia novel ini diterbitkan oleh YOI di bawah judul Sampar hasil terjemahan NH Dini langsung dari bahasa Prancis].
Novel itu berlatar di kota Oran di Aljazair. Kota itu, seperti di Malang Selatan dalam riwayat Tjipto, juga diserang oleh wabah sampar. Camus mengisahkan bagaimana kota Oran perlahan tapi pasti lumpuh oleh wabah sampar yang menjalar dengan kecepatan yang mengerikan. Kota itu bahkan ditutup sehingga tak ada satu pun yang bisa keluar atau masuk.
Seiring makin mematikannya wabah sampar, segenap penduduk kota Oran pun jatuh pada kubangan pesimisme yang mengerikan. Orang kehilangan optimisme. Moralitas jatuh sampai pada titik nadir. Egoisme menjalar. Nyaris tak ada lagi persaudaraan. Masing-masing sibuk mencoba menyelamatkan dirinya sendiri. Kriminalitas meningkat.
Dr. Rieux hadir seperti dr. Tjipto di Malang Selatan. Tanpa optimisme yang berlebihan, juga tanpa sikap heroisme yang berapi-api, dia bekerja semampunya nyaris tanpa henti untuk mengorganisir upaya mengatasi wabah sampar. Dia dibantu oleh beberapa orang [seperti Josep Grand dan Jean Tarrou] yang perlahan-lahan berhasil mengikis awan ketakutan yang dijalarkan oleh maut sampar.
Dalam situasi yang absurd dan seperti tanpa harapan, lebih karena tidak ada yang tahu kapan wabah sampar ini akan berakhir, dr. Rieux tetap memilih bertahan di Oran. Dia mengabaikan kemungkinan menemui istrinya yang sedang dirawat di luar kota karena sakit sebelum Sampar merajalela. Dia menjalani hari-hari di Oran sebagai sebuah kenyataan hidup yang absurd sekaligus getir.
Melalui sosok dr. Rieux, Camus mendedahkan pikirannya mengenai etika absurditas manusia. Manusia “dihukum” turun ke bumi dengan menanggung segala risiko tak terduga. Orang boleh berharap pada Tuhan, tapi bagi Camus jawaban untuk menjalani hidup yang absurd dan tak tertaklukkan adalah “solidaritas umat manusia”. Inilah etik yang jadi nafas utama novel La Peste.
Apakah “solidaritas” itu yang mengalahkan sampar di kota Oran? Sama sekali tidak. Sampar itu menghilang begitu saja. Sampar hanya “tertidur”, mungkin satu dekade, mungkin empat dekade.
Lalu, seperti dituliskan Camus di paragraf terakhir novelnya itu, “… barangkali pada suatu hari, guna kemalangan ataupun pelajaran bagi manusia, sampar akan membangunkan tikus-tikus, kemudian menyuruh mereka mati di tempat-tempat terbuka di suatu kota yang bahagia.”
Ada banyak sampar-sampar lain yang terus mengintai kehidupan dan perabadan kita. Kemajuan ilmu kedokteran dan ilmu farmasi, seperti hanya “menidurkan” satu virus saja untuk kemudian [di]hidup[kan] lagi dalam bentuk baru yang lebih lebih kebal obat dan segala serum, sekaligus juga lebih mematikan.
Dan semogalah, dalam kegentingan-kegentingan yang mengerikan karena wabah-wabah penyakit berikutnya yang entah apa nama penyakitnya, peradaban kita masih mempunyai “cadangan” manusia semacam dr. Che Guevara, dr. Bernard Rieux atau setidaknya dr. Tjipto Mangoenkosoemo.
Saya sangat yakin kita — umat manusia — tak kehabisan pribadi-pribadi yang keluhuran budinya justru mencuat di situasi kritis seperti sekarang.
Selamat berjuang, kawan-kawan tenaga medis. Terima kasih.
Kita semua sedang bertempur; kalian di garis depan, kami di garis belakang. Semoga kita bisa melampaui absurditas ini bersama-sama.