Duka bagi NU. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Saya membaca banyak sekali pesan di laman sosial media ucapan belasungkawa dan takziyah atas wafatnya Kiai Salahuddin Wahid atau dikenal sebagai Gus Sholah. Menderasnya ucapan belasungkawa ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh Gus Sholah, dan betapa wafatnya sosok ini dirasakan sebagai kehilangan dan kesedihan oleh banyak orang.
Saya ingin mengingatkan beberapa hal penting tentang Gus Sholah — sekedar untuk “reminder” saja.
Pertama, wafatnya Gus Sholah adalah duka yang mendalam bagi NU, karena beliau adalah cucu Mbah Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau wafat pada saat NU, jam’iyyah yang didirikan oleh kakeknya itu, sedang merayakan Harlah NU yang ke-94 Tahun.
Kedua, Gus Sholah adalah sosok yang saat ini menjadi pengasuh dan “menunggui” warisan besar Mbah Hasyim Asy’ari selain NU, yaitu keluarga besar pondok pesantren tebuireng, jombang, jawa timur.
Kita tahu, Pesantren Tebuireng adalah “kiblat”-nya pondok-pondok di lingkungan NU. Di sanalah banyak kiai Jawa dan seluruh indonesia belajar untuk menimba ilmu dari Maha Guru para kiai, yaitu Mbah Hasyim Asy’ari yang digelari sebagai Hadlratusy Syaikh — satu-satunya kiai di NU yang menyandang gelar ini. Banyak tokoh Betawi yang “nyantri” di Tebuireng, baik pada zaman Mbah Hasyim atau sesudahnya. Di pondok inilah, menurut kisah yang saya terima, Kiai Abdullah Salam (dan beberapa kiai lain) dari Kajen, Pati, pernah “mondok”. Kiai Abdullah adalah kiai pertama yang di-sowani Gus Dur setelah menjadi presiden.
Ketiga, wafatnya Gus Sholah langsung mengingatkan saya pada peristiwa sedih yang pernah menimpa ayahandanya, yaitu Kiai Wahid Hasyim. Kiai Wahid (Menteri Agama RI kedua setelah Kiai Masykur) wafat karena kecelakaan lalu-lintas di Cimahi, Bandung, dalam perjalanan untuk menghadiri acara NU di Sumedang, pada hari Ahad, 19 April 1953.
Kok ndilalah kersane Allah, Gus Sholah juga wafat pada hari Ahad. Kiai Wahid meninggal dalam usia yang masih sangat muda 39 tahun. Gus Sholah wafat dalam usia 77 tahun.
Keempat, Gus Sholah, seperti kita tahu, adalah adik kandung Gus Dur. Di antara keenam putera Kiai Wahid Hasyim, tampaknya dua nama inilah yang “cemlorot” dan muncul sebagai sosok yang bisa kita sebut sebagai tokoh bangsa, tokoh nasional, dengan pengaruh yang lintas golongan, kelompok, dan agama — yaitu Gus Dur dan Gus Sholah. Tentu saja corak dan model ketokohan dua sosok ini berbeda, tetapi dua-duanya adalah TOKOH BANGSA.
Di mata saya (dan saya tak kuasa menahan air mata saat menulis ini), baik Gus Dur dan Gus Sholah adalah hadiah terberkah Mbah Hasyim untuk negeri indonesia tercinta.
Ya, HADIAH MBAH HASYIM. Dua cucu beliau ini telah menyumbangkan banyak hal untuk negeri ini. Kedua cucu beliau ini, dengan caranya masing-masing, telah “menyirami” dan merawat dua tanaman yang dulu disemai oleh Mbah Hasyim. Dua tanaman itu adalah NU dan Indonesia.
Selamat jalan, Gus Sholah. Selamat bergabung di alam barzakh dengan Mbah Hasyim, Kiai Wahid, Ibunyai Sholehah, Ibunyai Aisyah dan Gus Dur. Kami, warga Nahdliyyin, akan selalu mengenang panjenengan dalam doa-doa kami, dalam tahlil kami. Semoga segala amal ibadahnya di terima di sisiNya dan segala dosa dosanya di ampuni oleh Allah agar mendapatkan Surga Firdaus…. Al-fatihah…
Surabaya, 03 Februari 2020.