penanews.id – KORUPSI itu ibarat gatal yang selalu minta digaruk. Demikianlah Hoegeng Iman Santoso selalu berwasiat kepada polisi-polisi yang baru lulus dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Polisi yang baik, kata Kepala Kepolisian Indonesia pada 1968-1971 ini, akan melawan perasaan itu.
Hoegeng mempraktikkan sendiri wasiatnya. Buku ini menyajikan kembali riwayat penting orang Pekalongan yang lahir pada 14 Oktober 1921 ini, selain biografi yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan KH pada 1994. Buku ini memakai bahan sekunder berupa kliping berita dan catatan kenangan kepala-kepala Polri yang dekat dan tak mengenalnya, juga sejawat, dan aktivis antikorupsi.
Keteguhannya menolak suap, misalnya, ketika Hoegeng menolak ucapan selamat datang seorang bandar judi Medan sewaktu menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Ia melempar semua pemberian itu karena si bandar tak juga mengambilnya.
Selain hati-hati soal uang, Hoegeng juga menghindari memanfaatkan kekuasaan. Sewaktu anak lelakinya melamar jadi penerbang, Hoegeng menolak meneken surat izin orang tua karena khawatir panitia seleksi meloloskan si anak setelah melihat namanya. Ia menutup toko bunga istrinya sewaktu jadi Direktur Jenderal Imigrasi untuk mencegah para calo menyuap dengan cara memborong bunga-bunga itu.
Hoegeng juga tak segan menunjuk siapa yang salah. Ketika pejabat tentara dan polisi membungkam Sumarijem, pedagang telur, karena mengaku diperkosa empat anak pejabat Yogyakarta, Hoegeng memerintahkan penyidikan jalan terus. Kasus Sum Kuning ini berakhir di pengadilan. Dua pelakunya dibui, meski hakim gagal membuktikan pemerkosa lainnya anak Wakil Gubernur dan seorang jenderal.
Kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahjadi adalah yang paling heboh. Hoegeng menangkap anak muda 25 tahun itu, kawan bisnis anak-anak Soeharto, berikut para pejabat yang menjadi bekingnya. Akibatnya, Soeharto marah dan Hoegeng dipaksa pensiun dini.
Toh, itu tak menyurutkan keteguhannya. Ia bergabung dengan Petisi 50, sebuah kelompok diskusi yang kerap mengkritik otoritarianisme Soeharto. Acara nyanyinya di TVRI dihentikan, obrol-obrolan di radio juga distop. Hoegeng bahkan dilarang mengikuti upacara Hari Bhayangkara.
Hoegeng menerima semua itu dengan hati ringan. Setelah pensiun dengan gaji Rp 10 ribu, tak punya rumah dan mobil, ia mengisi hari-harinya dengan menyanyi, melukis, bersama istri yang keturunan Belanda, atau bersepeda ontel. Ia wafat pada 14 Juli 2004.
*) tulisan ini diambil dari catataniseng.com, blog milik Bagja Hidayat, kini pemimpin redaksi foresgdigest.com