Baca Juga:
Denpasar, Penanews.id- Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Bali menyesalkan larangan peliputan acara People’s Water Forum (PWF) di Hotel Orange Jl. Hayam Wuruk Denapsar Selasa (21/05/2024). Larangan itu dikeluhkan sejumlah jurnalis televisi yang dilarang oleh sekelompok orang.
Jurnalis tvOne, Alfani Sukri menurutkan, pada hari pertama gelaran PWF terjadi ketegangan antara sekelompok orang dengan panitia penyelenggara. Tapi larangan liputan oleh sekelompok orang dengan alasan menjaga budaya Bali.
“Sejak awal digelarnya PWF di Hotel Orange Hayam Wuruk kita awalnya boleh masuk. nah hari kedua kemarin, semua peserta yg akan hadir itu gak boleh masuk. Termasuk semua wartawan yang ingin meliput kegiatan di dalam dengan alasan gak jelas. Mereka yang menghalangi itu gak jelas. Dasar mereka menjaga budaya dan keamanan Bali. Takut demo dan sebagainya. Lah trus kita para wartawan ini apa, kog sampe ikut di larang,” tutur Alfani.
Alfani juga menyayangkan sikap polisi sebagai aparat keamanan, yang harusnya mengamankan kegiatan masyarakat.
“Yang kita sayangkan, memang peran polisi di mana. Kog bisa ormas yg ngamanin. Nah yang paling sedih itu, pernyataan menteri PUPR bahwa PWF gak mengganggu dan diperbolehkan. Eh dianggap wartawan ngarang ngarang,” sesalnya.
Ketua IJTI Bali, Ananda Bagus Satria menyesalkan larangan peliputan PWF. Dalam Pasal 4 ayat 3 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan, pers mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Oleh karena itu, semestinya para jurnalis tidak dihalangi dalam melakukan tugas jurnalistik.
“IJTI Bali menerima laporan pengaduan dari anggota bahwa sejumlah jurnalis televisi juga jurnalis lainnya dilarang meliput acara PWF. Padahal jurnalis diundang oleh panitia. Karena itu, pihak lain tidak berhak menghalangi kerja jurnalis, termasuk semua peristiwa yang terjadi di lokasi. Ini bentuk ancaman bagi kemerdekaan pers di Indonesia,” tegasnya.
Bagus menjelaskan, demi keterbukaan informasi publik diatur dalam
Pasal 6 huruf a UU Pers yang menegaskan bahwa peranan pers adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
Dengan demikian, para pihak yang melarang pers melakukan kerja jurnalistik atau peliputan telah melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Pers yang menetapkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
“Publik berhak mendapatkan informasi termasuk kegiatan PWF di Bali yang berbarengan dengan gelaran WWF. Nah polisi sebagai aparat keamanan harusnya mengamankan kegiatan masyarakat. Bukan membiarkan ormas maupun kelompok lain untuk menghalangi kegiatan masyarakat,” katanya.
Bagus menegaskan, ancaman pidana bagi yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan peliputan, diatur dalam Pasal 18 ayat (1).
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”tegas Wayan Handi.
Bagus menambahkan, jika ormas ataupun kelompok lain dibiarkan menggagalkan kegiatan PWF maka berpotensi terjadi gesekan yang bisa berdampak pada adanya korban.
“Harusnya aparat keamanan dari kepolisian bertugas mengamankan kegiatan masyarakat. Kalau dibiarkan ormas maupun kelompok lain seperti kejadian ini, maka potensi adanya korban misalnya terjadi penganiayaan yang tak bisa dihindarkan. Karena kejadian ini terjadi di kota dan tidak mungkin polisi tidak tau adanya keributan sejak hari pertama,” pungkasnya. EMbe