Penanews.id, JAKARTA – Tiba di Indonesia pekan terakhir 2021, RB, seorang wanita asal Eropa, dan seorang teman perempuannya menjalani karantina di salah satu hotel di kawasan Jakarta Pusat. Namun keceriaannya sirna saat di hari ke-9, tes Covid-19 yang ia lakukan di hotel menunjukan hasil positif.
Di hari yang sama, mereka dipindahkan ke salah satu hotel isolasi, di kawasan Jakarta Pusat. Awalnya, mereka diingatkan petugas hotel bahwa keduanya tak bisa tinggal dalam satu kamar yang sama karena menggunakan pesawat yang berbeda saat tiba di Indonesia.
Namun setibanya di hotel isolasi, petugas di sana justru menawarkan opsi satu kamar berdua dengan biaya yang lebih murah. RB awalnya ragu apakah hal tersebut bisa dilakukan karena bertentangan dengan aturan kesehatan. Tapi setelah diyakinkan, ia akhirnya setuju.
“Tentu kami memilih opsi yang lebih murah. Memegang kata-kata mereka bahwa kami bisa tinggal berdua,” kata RB saat dihubungi Tempo pekan lalu.
Pihak hotel isolasi awalnya menyebut biaya untuk tinggal sendiri di kamar adalah Rp 14 juta untuk 10 hari. Namun jika dihuni dua orang, harganya bisa dibagi dua. Pembayaran dilakukan di akhir masa isolasi, jika hasil tes sudah negatif dan bisa keluar.
Namun saat RB dan temannya dinyatakan negatif dan keluar di hari ke-11, pihak hotel justru menagih Rp 12,67 juta pada masing-masing orang. RB mengatakan tak ada dokumen yang diberikan petugas untuk menegaskan regulasi metode pembayaran itu. Menurut dia, petugas hotel tetap memaksa mereka untuk membayar.
Merasa lelah dan tak mau berdebat lebih panjang, RB dan temannya pun membayar tagihan itu. Ia mengaku khawatir hotel akan menahannya lebih lama di tempat isolasi dengan alasan lain. Selama ini, ia merasa seperti disandera saat berada di sana.
“Mungkin saya terlalu emosional tentang disandera. Itu agak berlebihan, tapi memang ketika ada di sana saya merasa benar-benar khawatir dan tak nyaman,” kata RB saat berhasil pulang.
Menurut dia, banyak hal yang membuat hotel itu menjadi tempat isolasi yang tak nyaman, bahkan berbahaya. Dari segi fasilitas, RB mengatakan kamar yang ia tempati tak punya toiletries yang layak. Furniturnya pun tua dengan sprei yang sudah berlubang dan kamar mandi yang bau.
Banyak kucing dan tikus yang berkeliaran di sekitar kamar pasien. Dengan kemampuan Covid-19 menyebar lewat hewan, RB merasa semakin terancam penularan lewat binatang atau bahkan penyakit lain yang dibawa oleh binatang tersebut.
Tak hanya itu, ia juga mengkhawatirkan staf medis yang mengunjungi mereka setiap hari untuk memeriksa suhu badan, tekanan darah, dan tekanan oksigen. Para petugas medis itu mendatangi kamar per kamar langsung tanpa memberi disinfektan pada alat kesehatan yang mereka gunakan. Memperbesar peluang penularan bagi sesama penghuni di sana.
“Secara keseluruhan tempat itu tak bersih. Padahal seharusnya untuk tempat tinggal pasien positif Covid-19, tempat itu seharusnya bersih,” kata RB.
Keluhan ini tak hanya datang dari RB. JJ, seorang pria asal Amerika Serikat, juga mengalami pengalaman buruk yang sama. Pengalaman tak enak ini bahkan dimulai setibanya di Bandara Soekarno-Hatta pada akhir tahun lalu.
Dua kali menjalani tes PCR dengan hasil negatif di Amerika sebelum berangkat, JJ juga kaget saat hasil tes di bandara menunjukan hasil positif. Ia pun diminta menandatangani satu lembar dokumen berisi 10 poin. Menurut dia, salah satu poinnya adalah menyatakan bahwa dia telah terpapar Omicron.
“Saya tak mau tandatangani, karena saya mungkin positif Covid-19, tapi belum tentu Omicron. Saya minta tes ulang secara independen, tapi mereka bilang tak melakukan itu di sini,” kata JJ.
JJ semakin kaget saat salah satu petugas yang ada di sana mengajaknya makan siang bersama. Petugas itu mengajaknya menumpang mobil untuk mencari makan. Untungnya, petugas bandara lain datang untuk menahannya pergi.
Petugas itu kemudian mengatakan JJ akan dibawa ke rumah sakit karena dinyatakan positif Covid-19. Namun alih-alih dibawa ke rumah sakit, JJ justru dibawa ke hotel isolasi di kawasan Jakarta Pusat. Hotel yang juga ditempati oleh RB dan teman perempuannya.
Pengalaman tak menyenangkan juga dirasakan JJ di sana. Kamar yang ditempati juga tak lebih baik dari RB. Kepala shower yang copot hingga air yang tak mengalir di kamar mandi membuat JJ bersikeras pindah kamar. Meski akhirnya dipindah, ia merasa tetap tak nyaman. Sama seperti RB, ia pun merasa tak aman ada di hotel itu.
Tak sampai di situ, saat Tahun Baru 2022 lalu, JJ mengatakan salah satu pasien bahkan menyelenggarakan pesta di kamarnya. Toko minuman keras yang ada di hotel juga tetap buka dan bisa dikunjungi dengan bebas oleh para penghuni hotel. Tak hanya karena protokol kesehatan yang ia nilai sangat diabaikan, pelayanan petugas hotel pun ia nilai tak bersahabat.
“Bahkan di hari ketujuh di sini, petugas muda yang mengantarkan makanan menolak memberi saya air minum,” kata JJ.
Koordinator Hotel Repatriasi Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Vivi Herlambang, mengakui keluhan terkait buruknya pelayanan hotel ini juga sudah banyak datang. Karena itu, per Sabtu, 8 Januari 2022 lalu, PHRI selaku koordinator bagi hotel-hotel karantina dan isolasi di Indonesia, langsung memberikan skors bagi hotel tersebut.
“Ini sekarang saya sedang suspend seminggu, agar tak bisa menerima tamu. Soalnya memang banyak keluhan dari tamu-tamu. Kami juga paham keluhannya bagaimana,” kata Vivi saat dihubungi Tempo.
Vivi mengatakan sejak awal ia memang meragukan kualitas pelayanan di hotel tersebut. Namun menurut dia, saat Omicron menyerang Indonesia pada awal Desember 2021 lalu, tak ada satu pun hotel yang berada di bawah naungan PHRI yang mau menjadi hotel isolasi bagi pasien positif.
Seiring makin besarnya kasus Omicron di Indonesia, PHRI semakin terdesak mencari hotel isolasi. Akhirnya hotel tersebut ditawarkan karena milik pemerintah daerah setempat.
“Saya mengerti mereka tak sebagus hotel-hotel karantina yang saya cek, yang saya cari dan cek dulu. Hotel ini berat memang,” kata Vivi.
Sumber: tempo.co