
Penanews.id, BANGKALAN – Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tengah dibahas DPR terus menuai protes. Protes terbaru datang dari Komisi VIII DPR karena dalam salah satu pasalnya mencantumkan perihal izin pendirian pondok pesantren harus berupa perizinan berusaha yang dikeluarkan pemerintah pusat.
Bila tak mendaftarkan diri, pasal 62 ayat 10 RUU Cipta Kerja menyantumkan sanksi pidana hingga dengan Rp 1 Miliar bagi pendiri pesantren.
Anggota Komisi VIII, Hasani Bin Zuber menilai syarat pendirian pesantren dalam Omnibus Law, bertentangan dengan Undang-undang Pondok Pesantren yang telah disahkan pada 2019 silam.
Dalam pasal 6 ayat 3 Undang-undang Pesantren hanya menyaratkan Pesantren yang telah memenuhi syarat berupa adanya kiai, santri, asrama, musala atau masjid dan kelas, cukup mengajukan izin terdaftar dari Menteri terkait.
“Saya melihat ada potensi tumpang tindih peraturan,” ujar dia saat ditemui di Kabupaten Bangkalan, Senin (31/8).
Selain dua hal itu, Hasani juga menilai kurang tepat bila perizinan pendirian pesantren masuk dalam RUU Cipta Kerja.
Karena sejak awal tujuan utama Omnibus Law dirancang hendak menyederhanakan lebih dari 70 undang-undang karena dianggap menghambat investasi.
Sementara menurut Hasani, Pondok pesantren bukanlah lembaga berorientasi profit sehingga mestinya tidak termasuk dalam kategori yang harus mengantongi perizinan berusaha.
“Saya kira, aturan tentang pesantren dalam Omnibus Law perlu dikaji ulang, agar tak menjadi masalah di kemudian hari,” ungkap politikus Demokrat ini.
Sementara itu, dikutip dari Times Indonesia, Menag Fahrur Razi menyampaikan bahwa penyelenggaraan pesantren diatur oleh UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Sehingga, masalah pendirian pesantren merujuk pada UU tersebut dan tidak ada aturan tentang sanksi pidana di dalamnya.
“UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah UU lex specialis. Sehingga berlaku kaidah lex specialis derogat legi generali, yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum,” kata Menag.
Terkait Pendirian dalam Pasal 6 UU 18/2019 mengatur bahwa pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat. Pendirian Pesantren wajib berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika.
Pesantren juga harus memenuhi unsur-unsurnya, yaitu Kiai, Santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau musala, dan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiyah dengan Pola Pendidikan Muallimin.
“Jika persyaratan itu sudah terpenuhi, maka pesantren memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili Pesantren. Selanjutnya, penyelenggara mendaftarkan keberadaan pesantren kepada Menteri,” jelas Menag.
Menurut Menag, meski SKT diterbitkan Menag, tetapi proses pengajuan pendaftaran tidak harus langsung ke Kemenag pusat di Jakarta, melainkan dilakukan berjenjang melalui Kanwil Kemenag Provinsi.
“Proses pengajuan izin pesantren melalui Kanwil Kemenag akan diatur dalam Peraturan Menteri Agama yang saat ini tengah difinalisasi. Dan yang terpenting, RPMA tidak mengatur sanksi pidana. Hanya, bagi pesantren yang menyalahi komitmen pendiriannya, sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU Pesantren, akan dicabut SKT nya,” tandasnya.
Menag RI Fachrul Razi menambahkan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan/atau nonformal. Berdasarkan data Ditjen Pendidikan Islam, saat ini ada 28.134 Pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama, dan itu tak ada kaitannya dengan RUU Cipta Kerja.
EMBE