
Penanews.id, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump serius mewujudkan ancamannya memblokir TikTok. Pada Kamis (6/8) malam waktu setempat, Trump mengumumkan Keputusan Presiden (Keppres) yang menyatakan TikTok telah “mengancam kedaulatan nasional”, sehingga pemerintah memasukkannya dalam daftar produk teknologi ilegal.
Semua aktivitas bisnis, termasuk iklan, serta tindakan menyajikan aplikasi tersebut di Google Play atau Apple App Store, masuk kategori melanggar hukum. Beleid ini akan efektif berlaku 45 hari ke depan.
Keppres itu secara tidak langsung mendesak ByteDance, perusahaan induk yang merupakan pemilik TikTok, agar menjual aplikasi tersebut kepada perusahaan AS.
Sejauh ini, Microsoft merupakan salah satu calon pembeli yang berminat mengakuisisi platform berbagi video pendek tersebut.
Pemblokiran TikTok merupakan dampak perang dagang AS-Tiongkok yang terus memburuk setahun terakhir. Keppres lain Trump menyasar pemblokiran WeChat, yang dimiliki oleh Tencent, raksasa teknologi Cina.
“TikTok memiliki perangkat khusus dalam aplikasinya untuk mencuri data privat pengguna,” kata Trump dalam jumpa pers, sekalipun teknologi sejenis juga dimiliki aplikasi buatan perusahaan AS di Sillicon Valley.
Keputusan pemerintah AS memblokir TikTok ini jadi topik konspirasi di medsos, sebab diumumkan hanya sehari setelah Facebook meluncurkan Reels, fitur tiruan TikTok yang akan muncul di Instagram dalam waktu dekat.
Instagram, seperti diketahui bersama, adalah salah satu aset paling berharga milik Facebook yang popularitasnya kini sedang ditantang oleh TikTok, sebagai salah satu aplikasi ponsel dengan pertumbuhan tercepat di Amerika Serikat.
Hingga artikel ini dilansir, TikTok telah diunduh 175 juta kali hanya di AS saja. Popularitas TikTok di AS, serta di berbagai negara, makin meroket berkat pandemi Corona, mengingat jutaan orang terpaksa tak keluar rumah dan butuh hiburan.
Trump, bersama politikus pendukungnya di Partai Republik, berulang kali menyebut bahwa TikTok memiliki hubungan khusus dengan Partai Komunis Cina.
Aplikasi ini disebar ke seluruh dunia untuk mencuri data pribadi jutaan orang. Tudingan itu dibantah ByteDance, yang mengklaim perusahaan ini justru didirikan di luar Tiongkok, dan kini dipimpin CEO warga negara AS.
sumber: vice.com