Penanews.id, AMERIKA – Pameo ini benar belaka: satu kematian adalah tragedi, sedang ribuan kematian adalah statistik.
Maka, kerusuhan dan penjarahan yang melanda sejumlah kota di Amerika hari-hari ini, bukan dipicu kematian karena virus Corona yang mendekati angka 100 ribu orang, tetapi karena kematian seorang George Floyd.
Floyd 46 tahun, tewas setelah ditangkap empat polisi di Kota Minneapolis. Mulanya, mantan atlet basket itu berbelanja di sebuah toko. Pemilik toko lalu menelepon polisi karena menduga Floyd berbelanja dengan uang palsu.
Empat polisi datang dan menangkapnya. Dalam rekaman video yang beredar luas di internet, Floyd tak melawan. namun polisi tetap merobohkan badannya ke aspal.
Tiga polisi menindih Bandan pria Negro yang jangkung itu.
seorang polisi menekan lehernya dengan lututnya itu selama 9 menit.
Floyd sempat berkata bahwa ia kesulitan bernafas sambil memanggil-manggil ibunya. Namun polisi itu tak peduli dan tetap saja menekan lehernya.
Floyd akhirnya tak sadarkan diri. Ketika ambulance datang untuk memberinya pertolongan, Floyd telah meninggal dunia.
Ketika video itu menyebar luas. Orang-orang turun ke jalan melakukan protes dan menyebut yang dialami Floyd sebagai kekerasan rasialis.
Kepolisian Minneapolis langsung memecat ke empat polisi itu dan berharap protes mereda. namun itu tak cukup, aksi protes semakin luas dan terjadi di berbagai kota.
Pemecatan itu tak cukup, pemrotes ingin ke empat polisi ditangkap dan diadili. Sementara penjarahan juga terjadi.
Kian luasnya aksi protes itu, membuat pemerintah tak punya pilihan lain. ke empat polisi pun di penjara dan seorang diantaranya bahkan langsung dicerai oleh istrinya. (EMBE)