Oleh: Made Supriatma
Saya masih mengamati soal protes besar-besaran di Amerika. Kematian George Floyd telah membuat perdebatan-perdebatan baru dan kemudian juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru.
Pertarungan tidak saja terjadi di jalanan. Tetapi juga di tingkat ide. Beberapa bisnis seperti tepung pancake Aunt Jemima dan beras kemasan siap saji Uncle Ben’s mengumumkan akan mengubah logo mereka yang bergambar orang kulit hitam. Keduanya dianggap sebagai penggambaran perbudakan.
Pertarungan juga bisa terbuka. Bisa juga diam-diam dibawah permukaan. Itulah yang membuat saya tertarik dengan artikel dari Moustafa Bayoumi. Dia adalah seorang dosen di Brooklyn College, City University of New York. Dia seorang keturunan Arab. Dia sudah menulis buku, ““How Does It Feel to Be a Problem? Being Young and Arab in America.” Bagaimana rasanya menjadi sebuah masalah? Menjadi pemuda dan Arab di Amerika. Saya belum membaca bukunya tapi judulnya sangat menarik.
Artikel Bayoumi menyoroti soal “Cup Foods.” Ini adalah nama supermarket dimana George Floyd membeli rokok dengan uang pecahan $20 yang palsu. Pemilik toko ini adalah seorang Arab Palestina Muslim yang bernama Mahmoud Abumayyaleh.
Cup Foods adalah supermarket yang menyediakan kebutuhan sehari-hari khusus untuk masyarakat kelas bawah – yang sebagian besar berkulit hitam. Di kota-kota besar Amerika, supermarket semacam ini hadir karena para retailer besar tidak berani membuka toko di kantong-kantong kemiskinan. Resikonya terlalu tinggi.
Siapakah pemilik supermarket macam ini? Pada abad lampau, supermarket macam ini dimiliki oleh orang Yahudi. Namun sekarang pemiliknya kebanyakan adalah orang Arab dan orang Asia Selatan (India dan Pakistan) yang juga terkenal dengan sebut orang Desi. Pemilik-pemilik ini punya sebutan sosiologis, yakni sebagai ‘middleman minorities’ (minoritas perantara) — mereka menghubungkan retailer besar dengan komunitas2 miskin.
Nah, mengapa pemilik Cup Foods ini melaporkan orang seperti Floyd ke polisi — sekalipun dia tahu rahasia umum bahwa kalau orang kulit hitam dilaporkan ke polisi resikonya adalah masuk penjara dalam waktu lama atau bahkan mati. Ternyata, di banyak kota di Amerika ada yang namanya “nuisance abatement law” atau hukum pengurangan gangguan. Hukum ini membuat para pemilik toko, khususnya di wilayah kumuh dan kriminalitas tinggi, untuk melaporkan setaip tindak kejahatan. Ini adalah taktik polisi untuk melakukan pengawasan. Kalau satu usaha/bisnis tidak mentaatinya, ijinnya bisa dicabut. Ada saja alasan untuk mencabutnya.
Inilah yang memaksa Cup Foods untuk melaporkan George Floyd. Namun ada hal yang sangat menarik untuk saya di tulisan ini adalah persoalan di kalangan Muslim Amerika sendiri.
Sepertiga jumlah umat Islam di Amerika adalah orang kulit hitam. Di kalangan umat Islam Amerika sendiri juga tumbuh rasisme. Bayoumi mengutip posting Instagram Remaz Khalaleyal, seorang aktivis Sudan-Amerika, yang menjawab alasan pelaporan bos Cup Foods. “Sejujurnya, bentuk-bentuk rasisme secara mikro dan makro yang pernah saya alami sebagai Muslim kulit hitam tidak datang dari tangan orang-orang kulit putih tapi dari tangan orang Arab kulit putih dan Desi.”
Ini perdebatan soal rasisme yang jarang sekali muncul ke permukaan. Muslim Amerika berkulit hitam memang sangat berbeda dengan Muslim Arab atau India/Pakistan. Mereka memiliki kulturnya sendiri. Barangkali Anda pernah mengenal nama seperti Malcolm X atau Louis Farrakhan. Dua orang ini sangat tajam dan mendalam jika berbicara tentang rasisme.
Lalu bagaimana dengan orang-orang Indonesia? Saya berbicara dengan beberapa kawan orang Indonesia di kota-kota besar Amerika. Saya mengikuti beberapa group media sosial dan memonitor percakapan disana. Beberapa hari lalu, saya keluar dari sebuah group karena pembicaraannya sudah sangat rasis. Sangat kentara bahwa banyak sekali orang-orang Indonesia yang tidak bisa melihat bahwa orang kulit hitam bisa berpikir dan punya hak dan derajat yang sama.
Tapi sudahlah. Itu soal lain. Saya tertarik, dengan perdebatan antara pro dan kontra gerakan dan demonstrasi Black Lives Matter di kalangan orang-orang Indonesia di Amerika.
Dari pengamatan sekilas dan dari laporan kawan-kawan yang sempat saya hubungi, sebagian besar mereka yang bersimpati pada BLM datang dari kalangan Muslim Indonesia. Sementara, orang-orang yang menyerukan perlunya rust and orde (hukum dan ketertiban) adalah mereka yang Kristen.
Hal ini sesungguhnya tidak terlalu mengherankan karena cukup banyak orang kulit hitam yang Muslim. Juga karena banyak gereja-gereja Kristen yang berafiliasi pada gereja-gereja Evangelis di Amerika yang mendukung Trump.
Tidak semua tentu saja. Ada banyak Kristen yang mendukung BLM. Seperti seorang pendeta Indonesia di California yang sempat viral di media sosial karena dia berpidato di depan demonstran dan mengatakan dia juga dipersekusi di Indonesia. Tapi banyak juga yang mengatakan dia hanya menggunakan BLM untuk mencuri poin politik.
Persoalan rasial dan keadilan/ketidakadilan ini sungguh rumit. Banyak orang tidak nyaman dengannya dan memilih untuk tidak membicarakannya. Saya kira, kita di Indonesia juga harus mulai berani membicarakan apa yang selama ini tabu kita katakan tapi kita semua tahu bahwa itu ada. Seperti kolonialisme-cum-rasisme Indonesia di tanah Papua misalnya.
Artikel asli klik link ini:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10157741607783533&id=784153532