Penanews.id, JAKARTA – Pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan lewat Peraturan Presiden Presiden Nomor 64 Tahun 2020. Pemerintah beralasan kebijakan ini diambil untuk “menyelamatkan” BPJS.
“Untuk iuran yang disubsidi pemerintah, tetap diberikan subsidi. Nah yang lain, tentu diharapkan menjadi iuran yang bisa menjalankan keberlanjutan operasi BPJS kesehatan,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto via telekonferensi, Rabu, 13 Mei 2020.
Dalam Perpres ini, iuran peserta kelas III naik menjadi Rp 42.000 pada 2020, dengan subsidi pemerintah sebesar Rp 16.500, sehingga masyarakat membayar Rp 25.500 per bulan. Namun subsidi pemerintah berkurang Rp 7.000,- pada 2021.
Kemudian iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000 dari sebesar Rp 51.000. Sementara itu, kelas I naik menjadi Rp 150.000 dari Rp 80.000. Ketetapan ini mulai berlaku 1 Juli 2020.
Komisi Pemberantasan Korupsi pernah memberikan rekomendasi untuk menekan defisit BPJS Kesehatan. KPK melihat jika rekomendasi ini dijalankan maka bisa menekan defisit BPJS hingga Rp 12,2 triliun atau sama dengan nilai defisit yang dialami pada 2019. Sehingga layanan kesehatan ini tak perlu menaikkan iuran.
“Dalam perspektif KPK ada kendala lain, misalnya kita punya mobil, yang mestinya Rp 100 ribu sampai bandara tapi tidak sampai itu bukan salah bensinnya, jangan-jangan tangkinya bocor atau mesinnya yang boros,” kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron di kantornya, Jakarta, Jumat, 13 Maret 2020.
Kajian KPK terkait dana jaminan kesehatan itu menemukan telah terjadi inefisiensi atau pemborosan dalam pembayaran BPJS Kesehatan. Pemborosan diduga terjadi karena tiga penyebab, yaitu peserta yang tak membayar iuran; pemborosan pada pembayaran rumah sakit yang tidak sesuai; serta kecurangan di lapangan.
Rekomendasi KPK yang pertama ialah Kementerian Kesehatan mesti mempercepat penyusunan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran. Buku pedoman ini diperlukan agar dokter tak melakukan perawatan yang sebenarnya tak diperlukan. Penyusunan buku pedoman ditaksir bisa menghemat pembayaran BPJS hingga Rp 200 miliar per tahun.
Kedua, KPK merekomendasikan BPJS Kesehatan membatasi pembayaran untuk penyakit katastropik, misalnya kanker, jantung dan stroke. KPK meminta BPJS Kesehatan mengurangi jatah klaim pasien bila penyakit tersebut diakibatkan oleh gaya hidup yang buruk. Cara ini diklaim bisa menghemat anggaran hingga Rp 2,8 triliun.
Selain itu, KPK meminta pemerintah menjalin kerja sama dengan asuransi swasta sehingga beban biaya perawatan pasien bisa dibagi antara pemerintah dengan perusahaan tersebut. KPK menaksir pemerintah bisa berhemat hingga Rp 900 miliar dengan cara ini.
Urun biaya, menurut KPK, juga bisa dilakukan dengan pasien yang tergolong mampu. Caranya yaitu dengan mewajibkan pasien membayar 10 persen dari total biaya perawatan. KPK menaksir BPJS mampu menghemat hingga Rp 4-6 triliun.
Cara kelima, Kementerian Kesehatan diminta mengevaluasi klasifikasi rumah sakit. Menurut KPK, ada 898 rumah sakit yang tidak sesuai dengan kelas yang disematkan. Klasifikasi yang tidak sesuai menyebabkan pemborosan sebab pembayaran klaim disesuaikan dengan tipe rumah sakit tersebut.
“Rekan-rekan kalau masuk dengan sakit yang sama ke kelas B dan kelas C, klaimnya beda,” ujar Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan. Evaluasi tipe rumah sakit ditaksir bisa menekan pemborosan hingga Rp 6,6 triliun.
Terakhir, KPK juga meminta pemerintah melakukan upaya hukum kepada peserta maupun penyelenggara yang melakukan kecurangan. Langkah hukum yang direkomendasikan KPK pertama kali dengan cara menuntut si pelaku membayar klaim yang diberikan pemerintah.
Bila pelaku mengulangi perbuatannya, maka pemerintah harus memutus kontrak kerja sama. Bila diulangi lagi, maka pemerintah diminta menuntut secara pidana. Bila rekomendasi tersebut dijalankan, KPK meyakini defisit BPJS Rp 12,2 triliun bisa dihilangkan.
Sumber: tempo.co