Baca Juga:
Penanews.id, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) disebut-sebut mencekal sejumlah peneliti asing untuk berkegiatan di wilayah konservasi kewenangan Kementerian.
Hal ini tertuang dalam surat bernomor S.1447/MENLHK-KSDAE/KHSS/KSA.2/9/2022, yang diterbitkan pada 14 September 2022.
Dalam surat itu, Kementerian memerintahkan semua balai besar/balai taman nasional serta balai konservasi dan sumber daya alam untuk tidak melayani lima peneliti asing.
Mereka adalah Erik Meijaard, Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl, dan Serge Wich.
Menurut surat itu, pencekalan dilakukan lantaran publikasi nasional dan internasional yang ditulis Erik serta kawan-kawan peneliti lainnya sehubungan dengan orang utan.
“Dengan indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah cq Kementerian LHK,” demikian bunyi surat tersebut.
Erik Meijaard merupakan Direktur Borneo Futures yang berbasis di Brunei Darussalam. Ia adalah peneliti konservasi yang sudah 30 tahun lebih meneliti konservasi orang utan dan mamalia lain di Asia Tenggara.
Empat peneliti lain yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat juga aktif meneliti orang utan. Jika dikombinasikan, lama penelitian mereka sehubungan dengan orang utan mencapai 105 tahun.
Surat KLHK itu tidak menyebutkan secara jelas publikasi penelitian mana yang dianggap mendiskreditkan pemerintah.
Saat dimintai konfirmasi oleh Tempo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, dan Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nunu Anugrah tidak merespons.
Adapun Tenaga Ahli Menteri Bidang Restorasi dan Kemitraan Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno, menduga KLHK menilai publikasi dari Erik dkk disinformasi. “Mungkin saja begitu,” ujar dia.
Wiratno meminta agar menghubungi Indra Exploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik. Adapun Indra saat dihubungi tak merespons.
Erik Meijaard mengaku kaget akan adanya pencekalan ini. Ia baru tahu kabar adanya aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini dari media sosial pada kemarin pagi.
Ia menyatakan tidak mendapat atau mendengar kabar apa pun dari Kementerian perihal pembatasan kegiatan dan pencekalan terhadap dirinya tersebut.
Erik bahkan mengatakan sudah menghubungi Kementerian untuk meminta klarifikasi karena tidak tahu apa penyebab keluarnya surat itu.
“Kami belum mendapat balasan dari mereka. Jadi, untuk saat ini saya tidak tahu persis apa arti pembatasan itu,” kata Erik saat diminta konfirmasi oleh Tempo.
Belum jelasnya publikasi yang dimaksud Kementerian juga menjadi pertanyaan bagi Erik. Selama ini, ia memang kerap menulis soal orang utan, khususnya populasi orang utan yang terus tergerus. Bentuknya berupa jurnal yang dipublikasikan di sejumlah platform atau media.
Sejak 2017 hingga terakhir pada 15 September lalu, laporan yang dia buat berupa opini yang dimuat di salah satu media berbahasa Inggris di Indonesia, Jakarta Post.
“Tapi surat Kementerian Lingkungan itu dikeluarkan pada 14 September dan artikel kami diterbitkan pada 15 September, jadi mungkin keduanya tidak berhubungan,” ujar dia. Menurut dia, lima orang yang disebutkan dalam surat tersebut merupakan lima penulis artikel Jakarta Post. “Kami berlima belum pernah menerbitkan suatu tulisan bersama.”
Tulisan Erik perihal orang utan selama ini banyak membahas makin terancamnya populasi mereka. Data dari Auriga Nusantara juga mengkonfirmasi hal tersebut. Populasi orang utan Kalimantan, misalnya, terus menurun. Jumlah orang utan Kalimantan jenis Pongo pygmaeus pygmaeus menurun dari 7.500 pada 2004 menjadi hanya 4.520 pada 2016. Ada juga jenis Pongo pygmaeus wurmbii yang berkurang dari 46.250 menjadi 38.200 dalam kurun waktu yang sama.
Tak hanya dilarang memberikan pelayanan kerja sama dengan Erik dkk, Kementerian Lingkungan Hidup dalam suratnya juga meminta setiap kepala balai besar/balai taman nasional serta balai konservasi dan sumber daya alam melapor kepada Menteri setiap ada usulan kegiatan konservasi oleh peneliti asing.
Baik itu lewat jalur lembaga swadaya masyarakat, akademikus, maupun kedinasan. Setiap kegiatan penelitian oleh peneliti asing atau yang didanai oleh asing dalam kurun waktu 2017 hingga 2022 juga wajib dilaporkan kepada Menteri.
“Melakukan pengawasan terhadap kegiatan penelitian yang telah mendapatkan izin pada saat ini, terutama berkaitan dengan hasil-hasil penelitian yang akan dipakai untuk publikasi guna dapat dijaga objektivitasnya,” demikian bunyi surat tersebut.
Enam hari sebelum surat itu diteken, Siti Nurbaya sempat membahas yurisdiksi negara. Hal ini ia ungkapkan dalam rapat kerja teknis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) KLHK.
“Agar jajaran KSDAE lebih sensitif dan memahami, tidak saja yurisdiksi dalam arti wilayah, kawasan yang dipangkunya, namun lebih dari itu,” kata Siti, seperti dikutip dari akun Twitter pribadinya, @SitiNurbayaLHK, pada 10 September 2022.
Team Leader Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas, mengatakan keputusan Kementerian Lingkungan Hidup mencekal Erik dan peneliti lainnya merupakan preseden buruk. Apalagi, ia menyebutkan, ini bukan pertama kalinya pemerintah mengintervensi hasil penelitian.
Sebelumnya, sudah ada juga ahli ekologi asal Prancis, David Gaveau, yang dideportasi setelah merilis data kebakaran hutan dan deforestasi yang berbeda dengan data pemerintah. “Bahayanya, itu direspons secara tidak demokratis dengan melarang mereka untuk masuk ke Indonesia, termasuk mempublikasikan dana-dana penelitian,” kata Arie saat dihubungi, kemarin.
Padahal, ia mengatakan, data dari peneliti selama ini bisa menjadi data pembanding dengan data pemerintah yang kerap masih dipertanyakan. Tinggal nanti publik sendiri yang menilai data mana yang paling akurat dengan menguji metodologinya masing-masing. Dengan langkah ini, kata dia, pemerintah justru terkesan memaksakan data-data yang mereka punya kepada publik tanpa memberikan alternatif.
Hal ini juga diperkuat dengan perlakuan pemerintah terhadap Erik. Pada 2019, Erik tercatat pernah membuat penelitian yang hasilnya menyebutkan bahwa kelapa sawit bukan penyumbang terbesar deforestasi di Indonesia. Karena dianggap sejalan dengan narasi pemerintah, saat itu Erik diundang untuk memaparkan hasil penelitiannya oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.
“Kok sekarang ada publikasi terbaru yang berbeda dengan data pemerintah, lalu direspons secara reaktif oleh pemerintah?” ujar Arie.
Peneliti spesies dari Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto, juga melihat langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi sinyal matinya dialektika dan ilmu pengetahuan. Bukannya membuat kontra-argumen, pemerintah mengambil jalan pintas dengan mencekal Erik dan peneliti lainnya.
“Sebenarnya yang jadi korban adalah alamnya, orang utannya. Kita pihak yang mengelola mereka tidak punya data untuk mengambil kebijakan yang terbaik bagi orang utan,” kata Riszki.
EMbe/ tempo.co