Baca Juga:

Penanews.id, JAKARTA – Wartawan Tempo, Nurdin Saleh, saban tahun menjadi juri penghargaan pemain sepak bola terbaik dunia. Nurdin menceritakan pengalamannya terlibat dalam penjurian dan bagaimana memilih pesepak bola terbaik sejagat itu dalam tuturan berikut:
Saya telah menjadi juri untuk penghargaan pemain terbaik dunia, Ballon d’Or, sejak 2010. Saat itu majalah France Football, yang sebelumnya menyelenggarakan penghargaan itu sendiri, bekerja sama dengan badan sepak bola dunia FIFA.
Karena kerja sama itu, mereka pun meluaskan sistem penjurian ke seluruh dunia, termasuk merekrut lebih banyak wartawan sebagai juri. Menurut keterangan panitia, nama saya mereka pilih karena direkomendasikan oleh jurnalis dari Jepang, yang menjadi teman meliput di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Kerja sama majalah France Football dengan FIFA berlangsung hingga 2015. Dalam periode ini, penilaian Ballon d’Or melibatkan tiga unsur juri: kapten tim nasional, pelatih timnas, dan jurnalis.
Setelah kerja sama France Football dan FIFA berakhir, sejak 2016 hingga sekarang, saya hanya memilih Ballon d’Or versi majalah Prancis itu. Unsur juri pun berubah, hanya melibatkan 180 wartawan dari seluruh dunia. FIFA sejak saat itu menggelar penghargaan pemain terbaiknya sendiri.
Sistem penjurian Ballon d’Or sepenuhnya dilakukan lewat korespondensi email. Setiap tahun, prosesnya hampir serupa.
Awalnya, panitia menanyakan kepastian status terkini wartawan yang bersangkutan dan bertanya kesediaan menjadi juri kembali. Lewat email kedua, mereka kirimkan daftar panjang nominee, yang untuk pemain terbaik pria jumlahnya mencapai 30 untuk dipilih. Setiap juri diminta kemudian mengirimkan pilihannya.
Tahun ini, proses korespondensi oleh panitia itu dilakukan sejak September dan voting-nya dilakukan pada awal Oktober. Jadi ada jeda hampir dua bulan sebelum pengumuman pemenang dilakukan pada awal Desember ini.
Kadang-kadang selama jeda itu banyak kejadian baru muncul melibatkan pemain yang dipilih. Tapi tahun itu perubahan itu tak banyak terjadi, kecuali kondisi Lionel Messi yang tampak mengendur ketajamannya setelah meninggalkan Barcelona dan bergabung dengan Paris-Saint Germain.
Saat melakukan voting setiap juri diminta mengisi lima nama. Untuk pilihan pertama diberi bobot 6 poin, pilihan kedua berbobot 4 poin, dan tiga berikutnya beruntun mendapat poin 3, 2, dan 1. Panitia kemudian mengakumulasi pilihan seluruh juri, dengan diberi peringkat berdasarkan total poin yang didapat.
Panitia menekankan agar juri mempertimbangkan tiga kriteria saat menilai pemain terbaik. Kriteria itu adalah kinerja individu dan tim pada tahun kalender 2021, bakat dan sportivitas pemain, serta karier pemain secara keseluruhan.
Sejak 2010, saya sedikit banyak ikut terlibat menampilkan Messi dan Cristiano Ronaldo mendominasi Ballon d’Or. Setelah begitu lama kadang muncul kegundahan, kok selalu dua nama itu.
Nuansa itu kembali terasa pada pemilihan tahun ini. Ronaldo mungkin tak masuk dalam radar tiga besar mengingat ketajaman dan kiprahnya di klub dan negara yang tak sehebat sebelumnya. Tapi, Lionel Messi berbeda. Ia mengantar timnas Argentina menjadi juara Copa America.
Messi tetap tajam, mencetak 41 gol sepanjang 2021. Ia juga berperan mengantar Argentina juara. Sayangnya, ia gagal membawa Barcelona jadi yang terbaik. Tim tersebut hanya finis ketiga di La Liga Spanyol.
Karena itu saya lebih memilih Jorginho sebagai pilihan utama. Pemain itu lebih lengkap dalam hal torehan trofi musim ini, mengantar Chelsea juara Liga Champions dan membawa timnas Italia juara Piala Eropa. Perannya di kedua tim itu juga cukup penting.
Saat diumumkan, Jorginho hanya berada di posisi ketiga. Jadi secara umum, faktor produktivitas gol memang masih jadi pertimbangan banyak juri dalam memilih. Tak heran bila penyerang lebih banyak dipilih dalam satu dekade terakhir. Tercatat hanya Luka Modric yang pernah menggeser dominasi Ronaldo dan Messi pada 2018.
Tahun ini orang banyak menyorot kegagalan Robert Lewandowski untuk menjadi pemenang. Pemain Polandia itu sebenarnya menjadi jagoan saya untuk pemilihan Ballon d’Or 2020. Ia terus tampil tajam dan mampu mengantar Bayern Munchen menjadi juara Liga Champions. Sayang, penghargaan untuk tahun tersebut dihilangkan karena pandemi Covid-19.
Apakah pemilihan Ballon d’Or bersifat subyektif? Tak terelakkan. Semua penghargaan dengan sistem penjurian pasti begitu. Suka atau tidak, akan ada preferensi pribadi dari masing-masing pemilih. Namun, dengan jumlah pemilih yang berjumlah banyak, mencapai 180, subyektivitas itu sedikit banyak bisa dikurangi.
Sumber: tempo.co