penanews.id, JAKARTA– Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan kasus korupsi pengadaan tanah tidak akan terjadi jika pemerintah bisa memastikan semua regulasi telah sesuai aturan.
“Pastikan semua sesuai aturan saja,” kata Ahok melalui pesan singkat, Selasa, 9 Maret 2021.
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan status tersangka kepada Dirut Sarana Jaya Yoory C. Pinontoan dalam kasus korupsi pengadaan tanah di Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Gubernur DKI Anies Baswedan telah menonaktifkan Yoory dari jabatannya setelah ditetapkan menjadi tersangka pada Jumat, 5 Maret 2021.
Dalam kasus pembangunan hunian lapis saat ini, kata Ahok, Pemerintah DKI menunjuk Badan Usaha Milik Negara agar bisa dilepas jual. Sebabnya, jika yang melaksanakan pembangunannya adalah satuan perangkat kerja daerah, maka tidak bisa dijual.
Menurut dia, semestinya dalam transaksi pemerintah melibatkan pengawas seperti KPK untuk mencegah terjadinya korupsi. Ahok mengaku saat dirinya menjabat sebagai orang nomor satu di Jakarta terjadi kasus serupa seperti yang terjadi saat pengadaan lahan Pondok Ranggon.
Saat itu, pembeli lahan di Cengkareng Barat, diduga terdapat praktik lancung dalam pengadaan lahan. Bahkan, Ahok hingga berkoodinasi dengan KPK karena penjual lahan memberikan uang Rp 9 miliar sebagai hadiah.
“Seingat saya Kadis Perumahan pernah lapor ke saya dan saya minta uangnya dilapor ke KPK. Uangnya ada Rp9,6 miliar. Gratifikasi,” ujarnya. “Saya juga tidak tahu saat itu kenapa yang ngasih tidak diproses? Atau udah diproses? Perlu cek lagi.”
Pada 2015, Dinas Perumahan dan Gedung (sekarang Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman) membeli lahan senilai Rp 668 miliar di Cengkareng Barat dari Toeti Noezlar Soekarno.
Lahan seluas 4,6 hektare itu sedianya dibangun menjadi rumah susun. Dalam penjualan lahan itu, Toeti menunjuk Rudy Hartono Iskandar sebagai kuasa pemilik tanah tersebut.
Ternyata, tanah itu yang dibeli Dinas Perumahan itu merupakan milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI Jakarta. Artinya, pemerintah DKI membeli lahan miliknya sendiri.
Setelah lahan dibeli pemerintah, Toeti dan Rudy diduga membagi-bagikan uang hasil penjualan tanah tersebut kepada pejabat pemerintah DKI Jakarta. Misalnya kepada pejabat Dinas Perumahan senilai Rp 9,6 miliar.
Dalam temuannya, BPK juga menyatakan adanya selisih NJOP dalam pembelian lahan Cengkareng ini. Dari NJOP yang seharusnya Rp 6,2 per meter persegi, Dinas Perumahan membeli dengan harga Rp 14,1 juta per meter persegi.
“Sebagai ucapan terima kasih dan untuk uang operasional Dinas,” kata mantan Kepala Bidang Pembangunan Rusun dan Permukiman Dinas Perumahan, Sukmana, saat itu.
Jejak Rudy kembali mencuat dalam kasus korupsi pengadaan lahan Pondok Ranggon saat ini. Nama pemilik showroom mobil mewah itu muncul setelah Pemerintah DKI melalui Sarana Jaya membayar lahan Rp 217 miliar kepada PT Adonara.
Padahal PT Adonara belum memiliki tanah itu karena perjanjian pengikatan jual-beli (PPJB) dengan pemilik lahan, Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus, telah dibatalkan.
sumber: koran tempo