
penanews.id, YOGJAKARTA– Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta yang beranggotakan jaringan masyarakat sipil melaporkan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia karena menerbitkan peraturan gubernur yang berisi larangan unjuk rasa di kawasan Malioboro.
Aliansi yang beranggotakan 78 lembaga non-pemerintah dan individu pro-demokrasi tersebut melaporkan Sultan dengan cara mengirimkan surat bermaterai melalui Kantor Pos Besar Yogyakarta ke alamat kantor Komnas HAM di Jakarta pada Selasa, 16 Februari 2020.
Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Ada empat hal yang melanggar HAM.
Pertama tentang pembatasan kawasan penyampaian pendapat di muka umum. Berkedok pariwisata, Gubernur DIY meneken aturan untuk membatasi kebebasan mengeluarkan pendapat. Pergub tersebut mengacu pada keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/2016 tentang Penetapan Obyek Vital Nasional Di Sektor Pariwisata
Pasal 5 menyatakan penyampaian Pendapat Di Muka Umum berlangsung di ruang terbuka untuk umum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali di Istana Negara Gedung Agung, Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Keraton Kadipaten Pakualaman, Kotagede, dan Malioboro. Demonstrasi hanya bisa dilakukan pada radius 500 (lima ratus) meter dari pagar atau titik terluar.
Di kawasan larangan demonstrasi tersebut terdapat lembaga negara, di antaranya Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY dan Kantor Pemerintah Provinsi DIY. Kawasan terlarang untuk demonstrasi tersebut selama ini menjadi tempat untuk masyarakat sipil menyuarakan pendapat dan kritik terhadap pemerintah.
Pergub tersebut menghambat setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya di ruang publik. Aturan itu bertentangan dengan norma-norma hak asasi manusia di mana setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan.
Kedua, ihwal pembatasan waktu penyampaian pendapat di muka umum. Pasal 6 Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka menyebutkan penyampaian pendapat di muka umum berlangsung di ruang terbuka untuk umum dilaksanakan dalam kurun waktu pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
Ketiga tentang pembatasan penggunaan pengeras suara. Pasal 6 mewajibkan setiap orang menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Pasal ini mengharuskan setiap orang mematuhi batas maksimal baku tingkat kebisingan penggunaan pengeras suara sebesar 60 dB (enam puluh desibel).
Keempat tentang pelibatan Tentara Nasional Indonesia dalam urusan sipil. Pergub itu mendorong tentara keluar dari barak untuk terlibat dalam urusan sipil. Dalam pergub tersebut, TNI ikut serta dalam wilayah koordinasi sebelum, saat dan setelah pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum (pasal 10).
Tentara juga terlibat dalam pemantauan pelaksanaan penyampaian pendapat (pasal 11). Selain itu, mereka juga ikut mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan kebijakan (pasal 12).
Pelibatan tentara dalam lingkungan sipil menggambarkan pembelotan terhadap mandat gerakan reformasi 1998. Pasca-reformasi, fungsi kekaryaan TNI yang semula berpijak pada kredo dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sudah dihapuskan. Prajurit hanya bertugas dalam hal pertahanan dan tidak lagi terlibat urusan sosial politik. Lagi pula, secara eksplisit Undang-Undang Dasar (1945), pasal 30 ayat 3 menjelaskan TNI yang terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur kewenangan TNI untuk terlibat mengawasi dan terjun dalam aktivitas penyampaian pendapat di muka umum. Celakanya, pergub itu dibuat secara serampangan untuk menghidupkan kembali militerisme dengan memperluas kewenangan TNI.
Ardy menilai isi Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka bertentangan dengan norma-norma hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ada juga Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005, dan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Aturan itu berbunyi setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Indonesia sebagai negara pihak yang sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tidak bisa sembarangan membuat aturan yang membatasi kebebasan berpendapat. Pasal 4 ayat 1 menyatakan negara hanya dapat mengambil langkah pengurangan kewajiban-kewajibannya jika dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, dan diumumkan secara resmi. Pembatasan hanya bisa dilakukan dengan undang-undang, bukan dengan kaidah setingkat peraturan gubernur.
ARDY meminta kepada Komnas HAM RI untuk menindaklanjuti laporan dengan melakukan tugas dan wewenangnya seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
EMBE