Penanews.id, JAKARTA -Penelitian mengungkapkan pemilik golongan darah O berisiko lebih kecil terkena virus corona. Kantor berita Turki, Anadolu, melansir sebuah studi di Denmark yang dilakukan 11 peneliti mengungkapkan dari 473.654 orang yang dites COVID-19, yang bergolongan darah O diasosiasikan dengan risiko infeksi virus corona lebih kecil.
“Kami menunjukkan golongan darah O secara signifikan terkait dengan penurunan kerentanan terhadap infeksi SARS-CoV-2,” kata penelitian yang diterbitkan di Blood Advances, jurnal medis American Society of Hematology dikutip dari tempo.co.
Penelitian tersebut menunjukkan orang dengan golongan darah A, B, dan AB juga berisiko lebih tinggi mengalami trombosis atau pembekuan darah di dalam pembuluh darah, dan penyakit kardiovaskular, yang merupakan kondisi signifikan yang terjadi bersamaan di antara pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.
Hasil serupa ditemukan oleh studi medis Kanada yang dilakukan oleh 14 peneliti berdasarkan data yang dikumpulkan dari pasien unit perawatan intensif di enam rumah sakit di Vancouver.
“Pasien COVID-19 dengan golongan darah A atau AB tampaknya menunjukkan tingkat keparahan penyakit yang lebih besar daripada pasien dengan golongan darah O atau B,” kata penelitian tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal yang sama, seraya menambahkan individu dengan golongan darah O dilaporkan menjadi “kurang rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2”.
Studi tersebut juga mencatat pasien COVID-19 bergolongan darah A atau AB memiliki risiko lebih tinggi untuk memerlukan ventilasi mekanis dan durasi yang lebih lama dalam perawatan intensif dibandingkan dengan yang bergolongan darah O atau B.
Sementara, 84 persen pasien dengan golongan darah A atau AB membutuhkan ventilasi mekanis pada infeksi virus corona, tingkat itu adalah 61 persen untuk pasien dengan golongan darah O atau B, menurut penelitian.
Rata-rata pasien yang bergolongan darah A atau AB dirawat intensif sekitar 13,5 hari, sementara pasien dengan golongan darah O atau B hanya sembilan hari. Jumlah kasus COVID-19 di dunia mencapai sekitar 38,5 juta dan kematian mendekati 1,1 juta pada 15 Oktober 2020 menurut data Universitas Johns Hopkins.
EMBE