Penanews.id, SUMENEP – Setelah berhasil mereorganisasi Kerajaan Pamekasan, Kerajaan Sumenep menjadi target Belanda berikutnya.
Tapi rupanya tak mudah, Panembahan Sumenep yang berkuat saat itu begitu kuat bahkan punya pengaruh hingga ke Jawa lewat talian pernikahan.
Belanda baru memiliki peluang menguasai Kerajaan Sumenep setelah Panembahan sepuh wafat pada 1854 dan digantikan oleh anaknya Panembahan Noto Kusumo.
Dalam disertasi Kuntowijoyo yang kemudian terbit jadi buku dengan judul Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Noto Kusumo disebut membiarkan kantor kepatihan diambil alih Belanda dan para pegawai digaji langsung oleh kolonial serta diberi gelar Tumenggung, sebuah gelar yang lebih tinggi dari gelar Patih.
Ketika Panembahan Noto Kusumo jatuh sakit pada 1873, residen Madura kala itu mengusulkan pada Belanda agar mengambil alih sepenuhnya Kerajaan Sumenep.
Usul itu baru didengarkan oleh Belanda setelah Panembahan Noto Kusumo wafat pada 29 Mei 1879.
Untuk mencegah terjadi perselisihan atas pengambil alihan itu, Belanda menunjuk Pangeran Ario Mangku Adiningrat, anak angkat Noto Kusomo, sebagai Bupati Sumenep pada 1881.
Status Kerajaan Sumenep pun resmi dicabut Belanda pada 18 Oktober 1883.
“Meski pemerintahan belum diambil alih sepenuhnya, tapi penguasa Sumenep sejak saat itu bukan lagi seorang raja mandiri,” Tulis Kuntowijoyo, penulis buku Madura 1850-1940.
EMbe