Penanews.id, JAKARTA – Setelah enam tahun, DPR akhirnya menyetujui pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang. Berikut 10 pasal penting dalam UU ini:
1. Segala bentuk pelecehan seksual kini sah disebut kekerasan seksual
Pasal 4 ayat 1 menyebutkan 9 macam kekerasan seksual. Nomor 1: pelecehan seksual nonfisik. Selain itu, penyidik kepolisian tidak boleh menolak pengaduan perkara kekerasan seksual atas alasan apapun.
2. Melindungi korban revenge porn
Di pembahasan akhir, DPR RI menambahkan poin kekerasan seksual berbasis elektronik digolongkan sebagai kekerasan seksual. Bagian ini menjadi satu dari lima pasal tambahan DPR, dan sempat ditentang pemerintah.
Aturan ini berpotensi menyelamatkan korban revenge porn yang kerap dikriminalisasi UU ITE Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. Sebab, ada pemisahan mana pelaku dan mana korban. Sanksi kejahatan ini menurut Pasal 14 berupa penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp200 juta.
3. Kekerasan seksual di dalam dan di luar perkawinan sama-sama bisa dihukum
Aturan dalam Pasal 6 ini juga jadi alasan Fraksi PKS menjadi satu-satunya fraksi yang hingga detik-detik pengesahan, konsisten menolak beleid ini.
4. Perbuatan mengawinkan korban pemerkosaan dan pelaku bisa dipidana
Pasal 10 melarang tiga macam pemaksaan perkawinan, yakni perkawinan anak, kawin paksa atas nama budaya, dan perkawinan korban dan pelaku pemerkosaan. Siti Nurbaya akan tersenyum mengetahui sanksinya: maksimal 9 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp200 juta.
5. Hukuman pada pelaku kekerasan seksual tak hanya penjara dan denda
Pelaku tindak pidana kekerasan seksual tertentu bisa dihukum membayar restitusi (ganti rugi pada korban), hak asuhnya dicabut, identitasnya diumumkan, dan kekayaannya dirampas.
6. Korporasi bisa ditetapkan sebagai pelaku kekerasan seksual
Menurut Pasal 18, kekerasan seksual yang dilakukan korporasi akan diganjar hukuman denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar.
7. Kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan lewat restorative justice
Restorative justice atau penyelesaian perkara hukum di luar pengadilan hanya boleh dipakai untuk kasus kekerasan seksual yang pelakunya masih anak-anak, demikian atur UU TPKS. Februari lalu kami merangkum berbagai kasus yang mengindikasikan ada tren memakai restorative justice untuk menangani kasus KDRT.
Iklan
8. Keterangan saksi/korban dan 1 alat bukti sah sudah cukup untuk menetapkan terdakwa
Ini berbeda dengan kasus pidana umumnya yang membutuhkan dua alat bukti sah sebelum menetapkan tersangka.
9. Korban berhak mendapat pendamping di semua tingkat pemeriksaan
Diatur dalam Pasal 26-29.
10. Korban berhak mendapat ganti rugi/restitusi dan layanan pemulihan
Terpidana kekerasan seksual wajib membayar ganti rugi atau restitusi kepada korban. Negara juga berhak menyita kekayaan terpidana. Apabila kekayaan terpidana tak cukup untuk membayar restitusi, negaralah yang wajib membayarkan kompensasi pada korban, menggunakan skema Dana Bantuan Korban. Uang restitusi dibayarkan kepada korban paling lama 30 hari setelah vonis pengadilan. Skema ini dianggap sebagai salah satu keberhasilan terbesar UU TPKS.