
Penanews.id, JAKARTA – 12 April 2022 akan menjadi hari bersejarah bagi para penyintas dan pegiat advokasi isu kekerasan seksual di Indonesia. Sebab, DPR akhirnya menyetujui pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang, melalui sesi pengambilan keputusan tingkat II Rapat Paripurna.
Dihadiri 311 anggota dewan, Ketua DPR RI yang juga pimpinan rapat, Puan Maharani, mengetok palu satu kali tepat pukul 11.40 WIB.
Rapat paripurna hari ini turut dihadiri oleh sejumlah organisasi terkait perempuan. Mulai dari organisasi perempuan Indonesia, LBH Apik Jakarta, Perhimpunan Jiwa Sehat, hingga Puan Seni Indonesia.
Sebelum pengesahan, Wakil Ketua Badan Legislasi Willy Aditya terlebih menyampaikan bahwa naskah final RUU TPKS siap disahkan, dengan segala catatannya. Karena itu, melalui rapat paripurna, Baleg DPR ingin meminta persetujuan sidang dewan untuk pengesahan RUU TPKS.
“Kami akan menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang yang terhormat, apakah Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Puan dalam rapat yang disiarkan langsung lewat YouTube.
“Setuju,” jawab peserta sidang, baik yang hadir secara fisik maupun via online. Tak berapa lama tepuk tangan peserta sidang membahana di ruang paripurna.
Klimaks perjalanan RUU yang sudah enam tahun tersandung-sandung tersebut, akhirnya disambut gembira di media sosial.
Dilansir vice.com, Draf yang disahkan adalah versi final yang disetujui pada Rapat Pleno tingkat I DPR RI, 6 April 2022. Draf final terdiri dari 66 halaman dan 93 pasal. Isinya mengatur 19 macam kekerasan seksual.
Ke-19 macam kekerasan seksual tersebut dibagi dalam dua ayat. Pada sembilan kekerasan seksual yang disebut Pasal 4 ayat 1, sanksinya akan merujuk UU TPKS sendiri. Sedangkan 10 kekerasan yang disebut Pasal 4 ayat 2, sanksinya akan merujuk UU lain.
Dari sembilan fraksi di rapat paripurna, delapan setuju terhadap pengesahan RUU TPKS, hanya fraksi PKS yang menolak beleid tersebut menjadi undang-undang.
PKS mengaku mendukung substansi payung hukum kasus kekerasan seksual, namun RUU TPKS dianggap partai Islamis itu bertentangan dengan KUHP.
Willy Aditya, yang juga menjabat Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, menilai polisi kini punya dasar untuk bertindak ekstra merespons laporan kasus-kasus kekerasan seksual.
“[UU TPKS] Ini adalah kehadiran negara, bagaimana memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut dalam fenomena gunung es,” ujar Willy.
Dihapusnya poin pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dalam daftar kekerasan seksual di RUU KUHP memicu polemik. Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya menjelaskan penghilangan tersebut demi aturan yang tidak tumpang tindih. Ia menyebut pemerkosaan sudah diatur KUHP dan aborsi diatur UU Kesehatan.
Beleid ini melalui proses berliku sebelum disahkan. Sejak 8 Juni 2016, naskahnya dikaji mendalam, sempat ditolak sebagian partai, hingga dimodifikasi oleh fraksi-fraksi di DPR.
Jika ditarik dari pewacanaannya, maka RUU untuk merespons kasus kekerasan seksual di Tanah Air ini sudah digagas sejak 2012 oleh Komnas Perempuan, namun baru serius disusun pada 2014.
Awalnya dinamai RUU P-KS, beleid tersebut nyaris disahkan DPR pada 2019, tapi akhirnya diubah menjadi RUU TPKS pada 9 September 2021.
EMbe