Penanews.id, JAKARTA – Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Karyoto mengakui ada dilema dalam mengusut dugaan skandal korupsi ‘kardus durian’.
Menurut Karyoto, dilema muncul karena masalah waktu pengusutan terhadap kasus lawas tersebut.
kardus durian adalah istilah yang merujuk pada perkara dugaan suap kepada Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
Kasus ini muncul saat ia menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada kurun 2011.
“Sebenarnya bagi kami kalau waktunya seperti ini jadi dilema. Tapi dalam penegakan hukum sebetulnya tidak boleh ada dilema seperti itu,” kata Karyoto dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Selasa (22/11/2022).
Karyoto mengaku pernah bertanya kepada koleganya kenapa skandal ‘kardus durian’ tidak diselesaikan ketika kasus itu masih hangat. Menurut dia, persoalan waktu ini menimbulkan banyak pertanyaan di publik.
Kedeputian Penindakan mengaku memiliki beberapa pilihan karena mengantongi surat perintah penyelidikan. Namun demikian, Karyoto menuturkan pihaknya sudah pernah melakukan ekspose skandal kardus durian.
“Kami belum berani mengatakan kepada rekan-rekan karena keputusannya belum diambil,” tutur Karyoto.
Menurut Karyoto, ekspose atau gelar perkara skandal kardus durian yang dilakukan forum pimpinan KPK sudah sangat objektif dan transparan.
Hanya saja, kata Karyoto, pihaknya belum mengambil keputusan paling mutakhir mengingat adanya kemungkinan informasi baru dari penyidik dan jaksa yang sebelumnya mengusut serta menyidangkan kasus itu.
“Karena penyidik-jaksanya sendiri sudah banyak yang terpisah. Kasus durian dua ribu berapa? 2011. Sekarang sudah berapa tahun, 11 tahun,” ujar Karyoto.
Kasus ‘kardus ‘durian’ pertama kali muncul dalam persidangan kasus korupsi Kepala Bagian Program, Evaluasi, dan Pelaporan pada Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (P2KT) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Dadong Irbarelawan.
Dadong ditangkap KPK pada 25 Agustus 2011 bersama atasannya, I Nyoman Suisnaya dan pengusaha bernama Dharnawati.
Dalam penangkapan itu, KPK menyita uang Rp 1,5 miliar dalam kardus durian dari Dharnawati.
Jaksa menyebut uang itu merupakan bagian dari commitment fee yang akan diberikan Dharnawati agar empat kabupaten di Papua mendapatkan alokasi PPID dari Kemenakertrans.
Menurut Jaksa, setelah disetujui dana untuk empat kabupaten tersebut Rp 73 miliar, Nyoman meminta Dharnawati memberikan commitment fee 10 persen dari nilai proyek atau Rp 7,3 miliar.
Uang itu segalanya diserahkan kepada orang dekat Muhaimin Iskandar atau Cak Imin bernama Fauzi.
Dharnawati kemudian menemui Dadong untuk memindahbukukan rekening. Setelah uang Rp 1,5 miliar ditransfer, Dharnawati menyerahkan buku tabungan dan ATM ke Dadong.
“Dengan posisi saldo Rp 2 miliar yang merupakan commitment fee yang mana uang itu untuk diberikan kepada Muhaimin,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (12/3/2012).
Adapun Jamaludin Malik dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada 30 Maret 2016.
Hakim menyatakan Jamaluddin terbukti melakukan korupsi bersama-sama. Ia disebut terbukti menerima Rp 21,38 miliar dari sejumlah pihak, termasuk swasta dan kepala daerah.
Dalam kasus ini, Jamaluddin divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 1 bulan kurungan. Ia juga harus membayar uang pengganti Rp 5,41 miliar.
EMbe/ kompas.com