Opini- “Mahasiswa”, mendengar kata ini nyaris dalam pikiran selalu disandingkan dengan kata perubahan. Mahasiswa identik dengan mengetahui segalanya ataupun mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial (Agent Of Change), hal ini dikarenakan atmosfer intelektualitas selalu digaungkan dalam kehidupan mahasiswa dengan berbagai macam bentuk.
Sejarah mencatat sejak berdirinya organisasi pemuda “Budi Utomo” yang di inisiasi oleh mahasiswa STOVIA 1908 hingga pergerakan reformasi 1998, golongan mahasiswa selalu mengambil peran penting dan sebagai eksekutor reformasi.
Selain itu mahasiswa juga identik dengan “Kebebasan Bernalar” hal ini telah dijamin oleh negara pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, yang menyebutkan, “dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan”.
Kebebasan akademik ini selaras dengan cita-cita bangsa dalam mewujudkan demokrasi, karena Demokrasi identik dengan keterbukaan, sehingga siapapun boleh berargumentasi, bersuara, bahkan mengkritik suatu kebijakan.
Alih-alih pasca runtuhnya era fasisme (orde Baru) hingga saat ini kawula mahasiswa kehilangan identitasnya sebagai kaum intelektual. Tradisi intelektual nyaris semakin redup dan hilang di dalam tataran kehidupan mahasiswa. Robohnya orde baru justru menciptakan simtom baru yakni mahasiswa kehilangan progresifitasnya dalam berbagai hal, baik dalam cara berpikir kritis ataupun gerakan advokasi sehingga terjadi distorsi gerakan. Hal ini itu menjadi pusat perhatian diberbagai kalangan yang berharap mahasiswa sebagai penopang pergerakan dan penegakkan esensi moral dalam ruang sosial.
Pasca reformasi, golongan mahasiswa semakin terlihat mesra dengan kekuasaan sehingga keberpihakan itu merepresentasikan ketergantungan pada “ketiak” oligarki dan kekuasaan baik dari tingkat regional maupun nasional yang pada akhirnya mahasiswa hanya sebagai boneka kekuasaan.
Lantas, kemana peta gerakan mahasiswa hari ini? Apakah kaum mahasiswa sudah terhegemoni oleh kepentingan oligarki? Atau intelektual mahasiswa sudah berpindah pada tataran nalar konsumtif?
Penulis akan mencoba menghadirkan argumentasi logis penyebab terjadinya degradasi intelektual hari ini yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa:
Lemahnya budaya literasi
berdasarkan survei Program for Internasional Student Assessment ( PISA ) yang diliris pada Organization for Economic Co-operationand Develoment ( OECD ) pada tahun 2019.
“Tingkat literasi di Indonesia pada saat penelitian 70 negara Indonesia menepati posisi ke 62 ” ungkap staff menteri dalam negeri ( kemendagri ).
Hal ini merupakan representasi dari krisisnya nalar kritis, khususnya dalam kehidupan mahasiswa sebagai eksponen intelektual yang seharusnya punya tanggung jawab dalam membudayakan literasi. Minat membaca Indonesia masih jauh dari negara-negara lainnya seperti Filandia ia menjadikan kegiatan membaca sebagai budaya dan kebutuhan mereka. Maka konsekuensi dari lemahnya literasi dalam tubuh mahasiswa menjadi malapetaka dan nalar kritis terhadap persoalan-persoalan sosial semakin hilang.
Intelektualisme ditopang oleh tradisi kajian yang kuat, hal ini tentu mencangkup banyak pengertian yang saling berkaitan. Secara garis besar aspek-aspek intelektualisme adalah membaca, berdiskusi, meneliti untuk mencapai taraf intelektual.
Kemajuan Teknologi
Pesatnya kemajuan teknologi menjadi bomerang ditengah indeks pembangunan manusia yang rendah di Indonesia. Akibatnya mental generasi muda hari ini condong praktis dan konsumtif, suka yang instan. Era disrupsi atau yang disebut dengan revolusi Industri 4.0 telah mengubah segala tatanan kehidupan manusia, pola hidup serba mudah dan praktis membuat seseorang lebih mudah melakukan sesuatu, hal ini bisa dilihat dari mudahnya mengakses suatu informasi, pengetahuan, cara berkomunikasi dan lain-lain hanya dengan segenggam ponsel ditangannya.
Peningkatan pengguna internet dari tahun ke tahun semakin meningkat drastis, menurut We are Social dan Hootsuite mencatat pengguna internet di Indonesia sebanyak 202,6 juta orang per Januari 2021. Sementara jaringan mobile aktif mencapai 345,3 juta, atau 125,6% dari total populasi.
Kemajuan teknologi bisa menjadi sebuah peluang, tantangan, bahkan ancaman bagi generasi muda, ironisnya dengan perkembangan tersebut tendensius pada acaman bagi generasi muda, khususnya mahasiswa hari ini, terbukti dengan pengaruh game online merusak dimensi kemanusiaan, yaitu: dimensi sosialitas, seperti sifat yang cenderung Individualistik, tidak suka membaca buku, tidak suka berdiskusi, dan tidak suka bersosial, dimensi moralitas: seperti mudah marah, egois, suka menyendiri dan lain-lain.
Kecanduan game online mempengaruhi banyak hal dalam aktivitas mahasiswa, terutama pada minat membaca, dan berdiskusi sebagai roh intelektual mahasiswa.
Pengaruh Hegemoni Negara (State)
Menurut Antonio Gramsci yang mampu melakukan agenda reformasi hanyalah kaum intelektual organik. Artinya ketika mahasiswa juga terhegomoni oleh kepentingan oligarki untuk melanggengkan kebijakan-kebijakan, maka mahasiswa sudah kehilangan identitasnya sebagai Agent Of social control. Terbukti peran negara dalam mengkontrol nalar-nalar kritis dengan adanya UU ITE sehingga ketakutan akan menghantui pikiran kritis. Kaum intelektual harusnya tidak tunduk pada kekuasaan sehingga selalu ada tesis dan anti tesis yang akan melahirkan sintesis. Karena negara bukan Tuhan yang memiliki kebenaran absolut, sehingga perlu dikontrol sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan filosofis yang itu orientasinya pada keadilan dan kesejahteraan bangsa Indonesia, bukan kebijakan yang lahir atas kepentingan oligarki dan kapitalis.
Sejauh yang dibicarakan dalam uraian di atas, penulis menawarkan solusi atas degradasi intelektual yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa hari ini adalah dengan “Menciptakan Fakta Baru”, artinya mahasiswa yang sadar dengan kondisi ini harus memulai membuat fakta baru yang sifatnya makro dalam kehidupan mahasiswa yaitu dengan menggaungkan dan menggenjarkan gerakan-gerakan literasi baik melalui komunitas-komunitas atau organisasi intra dan ekstra kampus untuk mengembalikan identitas mahasiswa sebagai eksponen intelektual dan pemegang amanat perubahan.
Penulis: Muhammad Fauzan
(Anggota Komunitas Cogito)