Baca Juga:
Penanews.id, SAMPANG – Masuknya gerakan nasionalis ke Pulau Madura yang ditandai lewat pembentukan organisasi Sarekat Islam pada 1913 di Sampang, nampaknya punya pengaruh besar bagi kemunculan pers di Madura.
Tujuh tahun setelah SI berdiri, Dua orang guru, Wiryoasmoro dan Kartosudirjo, keduanya orang Madura yang tinggal di Jawa, memprakarsai sebuah organisasi untuk memajukan kesusastraan dan bahasa Madura.
Organisasi itu kemudian terbentuk pada 1917 dengan nama Madurasa. Sosrodanukusomo dari Sampang ditunjuk jadi kepala. Markas pertama organisasi ini berada di Bondowoso.
Ketika organisasi ini bergabung dalam Perserikatan Guru Hindia Belanda, nama organisasi ini berubah menjadi Madoeratna. Sosrodanukusomo tetap menjadi kepala. Pada 1919, organisasi memprakarsai berdirinya Majalah dengan nama yang sama namun gagal.
Pada 1921, sebuah komite orang Madura di Surabaya bernama Masteka Madoera juga memprakarsai penerbitan majalah berbahasa Madura, namun tak terdengar lagi kelanjutannya.
Setahun kemudian muncul pengumuman lain bahwa akan terbit majalah bernama Rosorowan Madoera atau Gema Madura. Majalah berbahasa Madura ini akan terbit di Surabaya namun tak ada jejaknya.
Yang terbit justru Majalah Berbahasa Madura bernama Pangodhi. Sayangnya, ia hanya dua kali terbit.
Dalam Buku Madura karya Kuntowijoyo, Baru Pada 1924, terbit majalah berbahasa Madura bernama Posaka Madoera. Majalah ini terbit berkat bantuan Java institut yang disponsori pemerintah dan diterbitkan di Batavia. Majalah ini merekrut aktivis terkenal handal yaitu R. Sosrodanukusomo, M. Kartosudirjo dan M. Wiryoasmoro dan RA Sastro subroto.
Pada 1926, organisasi Sarekat Madura menerbitkan majalah bulanan Madhoeratna namun berumur pendek.
Usaha lain orang Madura menerbitkan majalah bernama Soeara Oemoem di Surabaya, ia terbit dua kali seminggu dan berbahasa Jawa. Editornya Sosrodanukusomo dari Sampang dan Sukaris dari Pamekasan.
EMbe