Penanews.id, JAKARTA – Kejaksaan Agung mengumumkan penetapan Apeng alias Surya Darmadi sebagai tersangka. konglomerat perkebunan kelapa sawit berusia 72 tahun ini terbelit perkara tindak pidana pencucian uang dan penyerobotan tanah negara seluas 37.095 hektare di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
Lahan seluas itu digarap tanpa izin oleh Grup Duta Palma, perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Apeng, sepanjang 2003-2022.
Menurut perhitungan Kejagung, akibat penyerobotan lahan itu negara dirugikan sebesar Rp78 triliun, membuat kasus ini dinyatakan beberapa media sebagai skandal korupsi dengan nilai kerugian terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Selain Apeng, Bupati Indragiri Hulu dua periode (1999-2008) Raja Thamsir Rahman juga menjadi tersangka kasus yang sama. Peran Raja sebagai pihak yang memberi izin, meski dokumen Duta Palma tak lengkap.
Untuk kasus bernilai fantastis, kedua nama tersebut memang layak jadi tersangkanya. Keduanya tergolong koruptor senior. Kejagung bahkan tak perlu repot menangkap Raja Thamsir mengingat dia sudah mendekam di Lapas Kelas II Pekanbaru sejak 2016. Statusnya sebagai terpidana korupsi APBD Indragiri Hulu.
Sedangkan Apeng terhitung licin. Sejak 2014 sebenarnya Apeng telah tersandung kasus suap Gubernur Riau Annas Maamun, juga terkait izin perkebunan. Masalahnya, begitu jadi tersangka, Apeng langsung buron. Namanya sudah masuk DPO Interpol, tapi hingga detik ini KPK yang memegang kasusnya masih gagal menangkap Apeng.
Dalam penjabaran kasus yang disampaikan Jaksa Agung, di tahun 2003 Apeng mengajukan izin pengelolaan, perambahan hutan untuk perkebunan, dan pengelolaan kelapa sawit kepada Pemkab Indragiri Hulu. Izin itu untuk lima perusahaan di bawah Grup Duta Palma, yakni PT Banyu Bening Utama, PT Panca Argo Lestari, PT Seberida Subur, PT Palma Satu, dan PT Kencana Alam Tani.
“Namun diketahui, lima perusahaan tersebut melakukan pengelolaan hutan dan izin usaha perkebunan, tanpa disertai dengan adanya izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Perhutanan,” jelas Jaksa Agung, dilansir Republika.
Selain itu Grup Duta Palma dan kelima anak perusahaannya juga tak memegang Hak Guna Usaha (HGU) Pengelolaan Hutan dari Badan Pertanahan Negara.
Kejagung menduga Apeng kini berada di Singapura. Bahkan ada desas-desus ia telah menjadi warga negara setempat. Anggota Komisi III DPR RI Santoso mengatakan, tampaknya Apeng lari dengan membawa kekayaan Rp54 triliun.
Sembari menanti kemungkinan ekstradisi dengan Singapura, skala kerugian kasus ini juga memicu desakan agar Kejagung dan KPK segera menyidangkan Apeng secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa).
Menurut lembaga bentukan eks pegawai KPK, Indonesia Memanggil (IM57+) Institute, yang mendorong opsi ini, pengadilan in absentia bertujuan agar aset dan bisnis milik pelaku bisa dibekukan secepatnya.
Besarnya kerugian negara akibat kasus perambahan hutan dan perkebunan tanpa izin ini adalah gambaran dahsyatnya korupsi kehutanan di Riau. Menurut KPK pada 2019, sebanyak 1 juta hektare lahan tanah dan hutan di Riau dikuasai masyarakat dan perusahaan tak berizin.
Jika ditotal dengan yang berizin, 78 persen wilayah Riau atau setara dengan 6,2 juta hektare dikuasai korporasi perkebunan, pertambangan, dan industri, demikian menurut Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) pada 2019.
Praktik lancung ini bisa lancar berjalan karena penguasa setempat mau bekerja sama untuk mengakali regulasi. Hingga 2019, setidaknya sudah ada dua gubernur, dua bupati, dan dua kepala dinas kehutanan di Riau terjerat kasus korupsi.
Nama-nama yang pantas diabadikan di arsip internet ini (karena sudah divonis bersalah semua) adalah: Gubernur Rusli Zainal, Gubernur Annas Maamun, Bupati Pelalawan Azmun Jaafar, Bupati Siak Arwin A.S., Kepala Dinas Kehutanan Riau Asral Rachman, dan Kepala Dinas Kehutanan Riau Burhanudin Husin.
Pada akhirnya yang panen besar adalah cukong seperti Surya Darmadi. Setahun sebelum masuk DPO, artinya tahun 2018, Apeng tercatat sebagai orang terkaya ke-28 di Indonesia versi majalah bisnis Amerika, Forbes. Estimasi kekayaannya sekitar 1,45 miliar dolar AS (setara Rp21,5 T menurut kurs saat ini).
EMbe/vice.com