Penanews.id, JAKARTA- Maksud hati mengeluhkan masalah hidup di media sosial, Lisa Amelia harus kehilangan pekerjaannya sebagai kasir di JS Swalayan setelah curhatannya viral.
Dalam keluhan di Facebook pribadi Lisa, ia menceritakan cerita nelangsa lantaran gajinya bulan ini dipotong lebih dari setengah, dari Rp1 juta menjadi Rp368 ribu, akibat terlambat masuk kerja, cuti sakit, dan untuk mengganti barang hilang.
Unggahannya memicu perbincangan soal upah buruh rendah dan kerentanan pekerja di internet, persis yang ditakutkan banyak pihak pasca pengesahan UU Cipta Kerja.
Dari slip gaji tersebut, diketahui JS Swalayan berada di Kelurahan Pringsewu Barat, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Namun, Senin (27/8) kemarin, pemerintah daerah setempat membantah toko tersebut berada di wilayahnya.
Curhatan Lisa jadi viral setelah dibawa ke Twitter oleh akun @ndagels. Lisa menuai simpati, sementara JS Swalayan panen hujatan lain. Netizen juga melancarkan senjata pamungkasnya: memberi rating buruk kepada pelaku usaha zalim. Sayangnya, beberapa serangan salah sasaran dan malah menarget toko swalayan yang namanya mirip.
Di beberapa kasus, serangan netizen berhasil menciptakan keadilan. Tapi yang dialami Lisa kemudian mirip dengan banyak korban UU ITE lain. Senin (27/9) kemarin, Lisa muncul lagi di media sosial.
Ia mengabarkan sudah dipecat JS Swalayan, juga diminta membayar denda sebagai hukuman telah “mencemarkan nama baik” tempat kerjanya. Tak lupa, pemilik JS Swalayan menambahkan bumbu ancaman dilaporkan ke polisi pakai UU ITE.
Menanggapi kasus ini, pakar hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada Nabiyla Risfa Izzati menjelaskan, tidak ada larangan hukum bagi buruh untuk mengunggah slip gaji ke internet.
Nabiyla menyarankan Lisa untuk melaporkan kasus yang menimpanya ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. “Karena jelas-jelas sudah ada pelanggaran UMP [upah minimum provinsi] dan potongan gaji yang tidak sesuai dengan ketentuan, melanggar UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Bisa dipahami bahwa posisi pekerja dalam kondisi ini memang sangat lemah. Maka, yang bisa dilakukan memang meminta bantuan dari serikat pekerja atau lembaga bantuan hukum.”
Jika dicek regulasinya, justru pengusaha yang membayar upah di bawah standar minimum lah yang cocok dipidanakan. Mengutip Hukum Online, praktik seperti itu bisa dipidana penjara maksimal empat tahun dan denda maksimal Rp400 juta.
Masalahnya, aturan ini enggak berlaku untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Disponsori UU Cipta Kerja Pasal 81 ayat 28, besaran upah pekerja di UMKM masih tergantung kesepakatan kerja di awal.
Pemerintah cuma “meminta” agar besarannya minimal 50 persen rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi dan minimal 25 persen di atas garis kemiskinan tingkat provinsi.
Sayangnya, indikator penentuan upah di pasal tersebut berpeluang eksploitatif kepada buruh. Misalnya di kasus JS Swalayan, kalau benar toko tersebut berada di Lampung dengan garis kemiskinan Rp450 ribu per kapita per bulan (data BPS Maret 2020), pemilik usaha boleh-boleh saja menggaji pekerjanya tidak lebih dari Rp600 ribu per bulan (25 persen di atas Rp450 ribu). Buset.
“Aturan pengecualian bagi UMKM ini memang cukup merugikan pekerja sih karena aplikasi di lapangannya akan sulit sekali bagi pekerja untuk mengetahui besaran data-data yang dijadikan acuan ini ketika membuat perjanjian kerja,” tutup Nabiyla.
Kepala Divisi Kebebasan Berpendapat SAFEnet Nenden Sekar Arum menjelaskan, kasus Lisa lagi-lagi membuktikan UU ITE yang sering digunakan untuk menindas masyarakat lemah. Meski tidak berakhir pada laporan polisi, ancaman UU ITE selalu merugikan pihak terlapor.
“Di kasus ini, kalau baca dari keterangan tersebut, akhirnya si calon terlapor [Lina] itu malah harus membayar denda. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah upahnya jauh dari layak, akhirnya dia harus mencari lebih banyak uang untuk membayar ‘hukuman’ hanya karena dia curhat atas keresahan yang dialami,” kata Nenden kepada VICE.
Nenden menggarisbawahi bagaimana Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE tidak berguna. “Padahal sudah jelas yang bisa melaporkan dengan pencemaran nama hanya orang per orang, tidak bisa nama institusi/organisasi.
Tapi, tetap berulang kasus seperti ini. Apa gunanya SKB tiga lembaga yang digadang-gadang sebagai solusi sebelum UU ITE direvisi? Seolah-olah SKB itu akronim dari Surat Kagak Berguna,” ujar Nenden.
Sumber: vice.com