Penanews.id, BANGKALAN – Setelah keluhan nelayan di Kecamatan Sepuluh, Kabupaten Bangkalan, mengemuka ke publik. Anggota DPRD Jawa Timur Mahfud S.Ag menemui sejumlah nelayan di sana, Sabtu, 17 September 2021.
Politikus PDIP ini datang karena ingin mendengar langsung curahan hati tentang dampak keberadaan pengeboran minyak dan gas bumi yang dikelola PHE WMO.
Fahri, perwakilan nelayan menuturkan yang paling dirasakan sejak ada pengeboran adalah menurunnya hasil tangkapan.
Sementara biaya operasional, seperti solar, semakin mahal karena tempat menangkap ikan semakin jauh.
“Dulu tangkapan kami mencukupi kebutuhan keluarga pak. Nah setelah ada pengeboran muncul aturan yang tidak boleh mencari ikan di sekitar pengeboran. Padahal disitu tempat ikan,” kata Fahri.
“Sehingga kami harus lontang Lantung ke jarak yang lebih jauh. kami pun harus menghutang biaya beli solar. Itupun kadang tidak maksimal pendapatannya, pak. Dan kami tidak pernah mendapatkan bantuan dari PHE WMO,” ia menambahkan.
Hasil yang tak seimbang, antara pengeluaran dan pendapatan, membuat Fahri memilih menjual perahunya. Kini dia memilih menjadi buruh di kapal lain.
“Perahu saya sampai saya jual pak. Karna tidak bisa membiayainya. Dan sekarang saya menjadi buruh pada nelayan yang lain yang mampu beli solar,” tutur dia.
Dalam pertemuan di Taman Pendidikan Mangrove Sepuluh itu, para nelayan didampingi sejumlah orang dari FKPP atau forum Komunikasi Pengusaha dan Pemuda dan JPKP atau jaringan pendamping kebijakan pembangunan.
Ketua JPKP, Ahmat Zainuddin menuturkan
mulai 2013 para nelayan tidak pernah menerima langsung bantuan CSR dari PHE WMO.
Sebab itulah, dia menduga, CSR yang telah disalurkan oleh anak usaha PT Pertamina itu ke desa sekitar lokasi pengeboran kurang tepat sasaran.
“Sebenarnya kalau berbicara regulasi seharusnya CSR itu di fokuskan ke nelayan dulu. Baru, kalau nelayan sudah tercover kebutuhannya, tidak apa-apa CSR itu di larikan pada isu lingkungan atau wisata. Nah ini kan lucu nelayan yang terdampak tidak dapat apa apa. Malah diberikan pada lembaga yang belum jelas izin operasionalnya,” jelas Ahmad.
Maka itu, nelayan berharap Mahfud S.Ag yang duduk di Komisi C DPRD Jatim, dapat memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi para nelayan.
“Jelas kami berharap polemik ini ditindak lanjuti oleh DPRD Jatim. Perusahaan harus menjalankan kewajibannya sebagai tercantum dalam Perda Bangkalan No/3/2016,” Ucap Syarifuddin dari FKPP.
Setelah mendengar aneka keluhan itu, Mahfud S.Ag mengatakan akan mendiskusikan masalah itu di internal komisi. Dia akan mengupayakan agar para pihak bisa duduk bersama di DPRD Jatim.
“Sebagai wakil rakyat dari masyarakat Madura, sudah menjadi kewajiban kami untuk memperjuangkan apa yang menjadi hak nelayan,” kata Mahfud yang juga Ketua IKA PMII Surabaya ini.
Yang pasti, kata Mahfud, semua langkah untuk menyelesaikan masalah ihwal CSR ini tak bisa diambil dengan terburu-buru. Ia perlu mendengarkan dari semua pihak.
“Langkah kami yang pertama, aspirasi ini akan kami diskusikan dengan kepada teman-teman DPRD Jatim yang lain. Dan kalau perlu Kami akan memanggil PHE WMO nantinya untuk hearing dan menanyakan apa yang menjadi keluhan di bawah,” ungkap dia.
KMS