Ini adalah tulisan terbaru Goenawan Mohamad atau GM, tentang sosok George Washington…
Enam bulan sebelum pemilihan, ia mengumumkan ia akan menolak menjabat presiden buat ketiga kalinya. Keputusan George Washington ini — ia kepala negara pertama Amerika Serikat — jadi bagian penting sejarah awal negeri itu, sebuah republik yang masih mencari-cari bentuk.
Kini kejadian di tahun 1796 itu bisa menunjukkan betapa mujurnya Amerika Serikat mendapatkan modal yang baik bagi masa depannya yang berliku-liku.
Tujuh tahun sebelumnya, di akhir April 1789, Washington diminta Kongres jadi presiden pertama. Tak ada orang lain yang lebih pantas. Ia, dalam usia 57, telah membuat sejarah besar: ia jenderal yang memimpin perang yang mengalahkan bala tentara Britania Raya dan membebaskan Amerika dari penjajahan. Ia dikagumi dan diagungkan bukan hanya karena perannya dalam perang kemerdekaan itu, tapi juga karena ia tampil sebagai orang yang tak menginginkan kekuasaan politik bagi dirinya.
Itu sudah ia tunjukkan ketika perang berkakhir: begitu menang, ia kembalikan mandat sebagai panglima tertinggi kepada para wakil negara bagian yang dulu mengangkatnya. Ia mempertegas komitmen tentara revolusi untuk meletakkan diri di bawah kekuasaan orang-orang sipil yang dipilih penduduk — satu langkah yang menyelamatkan demokrasi Amerika sampai hari ini, 300 tahun kemudian.
“I retire from the great theater of Action. “ Itu kalimat penutup pidatonya yang cuma tiga menit di resepsi perpisahannya sebagai panglima. Acara di Annapolis itu dihadiri 300 orang. Para anggota Kongres yang hadir menitikkan airmata ketika Washington menghormat, berpamitan, meninggalkan ruangan, menaiki kudanya dan pulang ke Mount Vernon, 80 kilometer di barat daya, di tepi Sungai Potomac.
Ia rindu kembali jadi orang sipil, kangen mengelola tanahnya yang luas dan rumahnya yang nyaman.
Tapi Republik memanggilnya lagi di musim semi 1789 itu. Konstitusi Amerika selesai diperbaharui dengan memberi kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintah federal; para utusan negara bagian akhirnya setuju. Washington menganggap perubahan itu perlu. Masalah yang dihadapi perlu kerja yang terpadu. Beberapa wilayah masih dikuasai negara-negara Eropa; ekonomi tak berkembang; negara dililit utang untuk ongkos perang. Untuk mengatasi semua itu sebuah pemerintahan nasional yang kokoh dibutuhkan, dan itu bisa dipertegas bila Washington jadi kepala negara.
Tapi ia tak segera ingin kembali ke kehidupan politik. “Masa depan adalah pemandangan yang gelap dan tak menentu bagi saya”, katanya setelah enam bulan dibujuk. Ia mengatakan untuk mau dicalonkan jadi calon presiden ia punya syarat: Kongres harus diisi para wakil rakyat yang “tanpa pamrih”.
Tak jelas bagaimana itu bisa terpenuhi; bisa jadi Washington hanya mengucapkannya buat menunjukkan pandangannya: kerja politik adalah pengabdian. Tugas bagi tanahair bahkan semacam pengorbanan; di tahun-tahun pertama perang kemerdekaan — yang ia sangka akan singkat — bukan saja ia tak digaji; ia mengongkosi keperluan militer dari kantongnya sendiri.
Akhirnya Januari 1789 Washington mengumumkan ia bersedia jadi presiden seraya siap menunggu proses pemilihan. Menurut Konstitusi, presiden harus dipilih — seperti halnya di abad 21 ini — oleh para anggota “electoral college” yang mewakili tiap negara bagian.
Begitu utusan Kongres datang mengabarkan hasil akhir pemilihan presiden, (yang sudah bisa diperkirakan), ia berangkat ke New York City, pusat pemerintahan baru. Dalam buku hariannya orang menemukan ia menulis bahwa ia “cemas dan pedih” ketika berpisah dari kehidupan rumahnya.
Tapi bukannya tanpa rasa senang. Sepanjang 40 kilometer menuju New York, dari kota ke kota, rakyat menyambut meriah kereta yang membawanya. Bahkan di sebuah desa di New Jersey orang memasang sebuah gerbang yang ditopang 13 pilar, yang di atasnya tertulis: TO YOU ALONE.
Washington menyukai sanjungan seperti itu. Ia menikmati posisinya yang tak seperti politisi yang lazim. Ia merasa dirinya anggun di atas. Dalam “The Ascent of George Washington: The Hidden Political Genius of an American Icon,” John Ferling menceritakan bagaimana Presiden Washington tak pernah menjabat tangan tamunya; ia mengambil jarak. Bahkan ia selalu bepergian dalam kota dengan kereta yang ditarik enam kuda dihiasi lambang keluarga dan inisial “GW”. Seorang bekas bawahannya dalam perang kemerdekaan berkata: “Tuan sekarang seorang raja, dengan sebutan yang berbeda”.
Tapi agaknya Washington tahu, kebahagiaannya — juga kewajibannya — bukan di sana. Ia tetap seorang republiken tulen. Ia makin sadar ada kewajiban yang tak kalah besar dan mulia ketimbang duduk di kursi kekuasaan — yakni keluar dari kursi itu. Para pemimpin Amerika selanjutnya akan bisa melihat, ada orang yang mampu menolak godaan (dan jebakan) kekuasaan, tak merasa perlu terus menerus dalam teater politik, dan bisa membahagiakan diri dan masyarakatnya dengan hanya, dalam kata-kata sang pahlawan kemerdekaan Amerika, jadi “orang jujur di kebun sendiri”.
Goenawan Mohamad