Penanews.id, JAKARTA– Wejangan yang disampaikan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri ketika meresmikan 25 kantor PDIP langsung viral di media sosial.
Warganet pun ramai mendiskusikan ucapan Megawati bahwa petugas partai harus nurut sama partai.
“Saya sampai, aduh bagaimana anak buah saya ini. Sebagai anggota partai ngerti apa tidak ya. Anggota partai, apalagi petugas partai, harus menurut apa yang ditugasi oleh partai kepada dia. Bukan lalu, ‘Saya ndak mau, ndak enak itu’. Yang suka saya lihat, enggan adalah kalau mereka ditugasi untuk turun ke bawah. Sepertinya duh, turun ke bawah, buang-buang waktu. Nah, tapi kalian petugas partai bukan?” begitu kira-kira sepotong sambutan politisi senior yang kini lagi menjabat sebagai Dewan Pengawas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Meski wejangan itu terkesan umum, namun melihat momentumnya, banyak yang menerka wejangan itu adalah cara Bu Mega menanggapi perbincangan publik soal gosip “pembangkangan” Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang dituding PDIP terlalu ambisius jadi presiden.
Inti cerita, pihak partai resah sama manuver Ganjar di media sosial yang dianggap terlalu mengesankan tujuannya jadi pemimpin negara pada 2024.
Mengutip dari vice.com, Pengamat Politik Muhammad Qodari mencoba menjawab pertanyaan apa iya kader partai harus senurut itu ke partainya.
Qodari, yang juga Direktur Eksekutif dari Lembaga Survei Indo Barometer, mengatakan memaknai batasan ketaatan petugas kepada partai tentu berbeda-beda.
Meski presiden adalah sosok dominan dalam kancah politik Indonesia, realitasnya visi RI-1 sulit terwujud tanpa stabilitas di DPR. Di wilayah parlemen itulah, partai berperan besar mengamankan lolosnya undang-undang atau mendukung perpres tertentu yang berpengaruh pada kebijakan.
Selain itu, UU pemilu tegas menempatkan partai sebagai sosok pengusung capres dan cawapres. Karenanya, siapapun yang berambisi menggantikan Jokowi kelak, harus mendapat dukungan partai-partai besar di Tanah Air.
PDIP, menurut Qodari, bukan kasus khusus di Indonesia. Banyak partai punya dinamika serupa, bahkan bisa saja “petugas partai” yang membangkang menggugat pimpinannya, atau membentuk partai baru.
“Partai politik punya ciri khasnya masing-masing, istilahnya corporate culture. Kalau bicara aturan, saya kira secara umum udah jelas di UU. Apabila [arahan pimpinan partai dianggap] bermasalah, ya itu bisa dituntut [secara hukum] atau bisa diproses [secara internal]. Tapi, tiap partai punya variasi dan kekhasan masing-masing,” kata Qodari kepada VICE.
Berarti, apakah definisi dari “bermasalah” ini juga tergantung masing-masing partai?
“Iya dong, tergantung masing-masing partai. Harus ada satu alam pikiran yang sama antara pimpinan partai dan kader. Kalau persepsinya berbeda, nanti akan mengalami konflik. Misalnya, seperti yang terjadi di Partai Demokrat [saat Moeldoko berusaha mengkudeta AHY] kemarin,” tambah Qodari.
Dalam konteks PDIP, Qodari mencontohkan dua ciri khas partai berlogo banteng tersebut. Pertama, partai ini terlanjur identik dengan Bung Karno dan keturunannya. Kedua, mempunyai basis massa kalangan nasionalis, biasanya kelas menengah ke bawah, bersuku Jawa, dan berdomisili dominan di Jawa Tengah, sebagian Jawa Barat dan Jawa Timur.
“Bisa dibilang ini partai yang memiliki basis massa dengan kultur paling jelas dan besar di Indonesia. Nah, dalam konteks itu, maka terciptalah sebuah hubungan yang bersifat kepatuhan sebagai sebuah disiplin partai, bahwa partai lebih besar daripada orang per orang,” ujar Qodari.
“Makanya, saya kira muncul istilah petugas partai ya karena ini partai ideologi, maka pengurus adalah pelaksana ideologi yang dimiliki partai. Peran dari keturunan Bung Karno sangat besar sehingga ia jadi simbol dan pemersatu partai, maka petugas adalah perpanjangan tangan dari pimpinan partai.”
EMBE