Oleh: Jakfar Shodik
Dalam dua pekan terakhir, nama Pandji Pragiwaksono tiba-tiba menjadi buah bibir dibeberapa kanal medsos. Hal tersebut berawal dari pernyataannya terkait peran tiga ormas yang dia kutip dari pendapat sosiolog Thamrin Tomagola. Elitisme ulama NU dan Muhammadiyah adalah pembeda dari FPI, aialah kesimpulan yang Pandji setujui. Bahkan dia mengimbuhkan pintu-pintu ulama FPI terbuka untuk warga, sebaliknya pintu NU dan Muhammadiyah tertutup rapat.
Pertama kali saya mengetahui sosok multitalenta itu, saat ia muncul dalam program Talkshow yang bertajuk Provocative Proactive disalah satu stasiun televisi swasta. Acara yang dikemas dengan suasana yang santai dan sangat enak ditonton, khas anak muda. Sehingga tidak heran jika
mendapat tempat tersendiri dikalangan millennial. Ronald Surapradja, Raditya Dika dan J Flow tidak saja berperan sebagai pendamping, bahkan merekalah yang terkadang mampu mencairkan kebuntuan suasana talkshow.
Menilik unggahan yang menjadi ramai itu, Pandji seakan-akan alpa bahwa berbicara dan menilai peran dari NU, Muhammadiyah dan FPI, tidak cukup dengan memakai kacamata medsos. Apalagi menggunakaan kacamata Jakarta khas Petamburan, disitulah titik lemah Pandji. Dia terjebak dan termakan isyu kekinian tanpa mendalami dan mampu menguasai materi yang dibahas. Sangat berbeda saat mengomentari penampilan kontestan Stand Up Comedy.
Saya mungkin salah satu orang yang mengikuti perkembangan Stand Up Comedy di Indonesia, dimana Pandji hingga saat ini masih berkibar. Namun, “lawakan” Pandji terkait NU dan Muhammadiyah ini, sungguh tidak lucu. Dan menjatuhkan kredibilitasnya sebagai sosok komedian cerdas dan objektif bagi sebagian kalangan, terutama bagi kader muda NU dan Muhammadiyah, dimana sahabat-sahabat saya banyak berada didalamnya.
Pembicaraan tentang Muhammadiyah tidak akan saya tulis secara detail, karena saya tidak mengetahui secara utuh dan sempurna. Informasi tentang peran ormas yang berusia lebih dari satu abad ini juga bertebaran dibeberapa tempat. Saya bersinggungan dengan Muhammadiyah juga tidak terlalu dalam, sebatas pada beberapa momentum melalui kader-kader mudanya. Itupun tidak berlangsung lama.
Belajar Muhammadiyah secara langsung saya rasakan saat menemani salah satu divisi panitia lokal dalam rangka persiapan satu abad Muhammadiyah, atau dengan guru-guru saya di UIN Sunan Kali Jaga. Tidak bisa dihilangkan jalinan persahabatan saya dengan mantan Ketua IMM Jogja sekaligus teman kos yang sekarang menjadi dosen, Danuri Kasino. Disitulah puncak saya mengenal Muhammadiyah, hampir secara utuh. Muhammadiyah secara keseluruhan mungkin dapat saya potret dari peran keluarga sabahat saya tersebut. Yang sekaligus mematahkan kesimpulan dari apa yang Pandji pahami tentang Muhammadiyah.
Demikian halnya dengan Nahdlatul Ulama, pengkerdilan terhadapnya sungguh sangat tidak bijak. Mengenal NU tentu tidak hanya melihat NU struktural saja, dan menafikan pada peran NU kultural yang berada dikampung-kampung. Istilah NU kultural ini biasanya disematkan kepada kiai-kiai didesa-desa yang “tidak terkenal” dan jauh dari pemberitaan media, karena tujuan hidup mereka memang bukan untuk itu. Mereka murni berjuang dan bisa memberi bermanfaat untuk warga disekitarnya.
Menjadi anggota keluarga dari NU kultural, akan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pengorbanan yang diberikan oleh mereka. Yang terkadang harus mengorbankan kepentingan anak-anak dan keluarganya. Tidak hanya membantu dalam hal Pendidikan dan kesehatan yang dipuja puji Pandji terhadap FPI, kiai kampung berperan jauh lebih besar dibanding itu. Karena kiai kampung akan memastikan warga dan santrinya bisa hidup sesuai dengan tuntunan agama.
Pandji sepertinya tidak mendapatkan informasi yang benar, berapa ribu pesantren NU di Indonesia yang menggratiskan santrinya. Pandji juga sepertinya tidak mengetahui bahwa kiai dan ibu nyai kampung waktunya diberikan kepada masyarakat selama tujuh hari, 24 jam penuh. Tidak susah menemui fakta ini, dari dulu hingga sekarang.
Pandji seperti terjebak pada faksi politik yang sengaja dihembuskan untuk menjatuhkan satu golongan.
Pandji tidak akan pernah merasakan kekhawatiran, orangtuanya yang sudah sepuh keluar rumah ditengah malam untuk memandikan orang yang meninggal. Tanpa peduli hujan dan cuaca dingin yang mencengkeram.
Pandji juga pasti tidak pernah mengalami uang lauk keluarga dipotong demi memastikan Pendidikan berjalan. Saya juga yakin, Pandji tidak tahu rasanya menjadi anak dari kiai kampung yang pernah menjadi sasaran fitnah demi kemajuan pendidikan.
Perjuangan dan pengorbanan kiai kampung dan keluarga besarnya, bukan cerita fiktif ala film dan talkshow yang pernah Pandji tulis dalam sebuah script dan dia perankan. ia juga bukan materi Stand Up Comedy yang bisa ditertawakan. Apalagi membandingkan dengan selembar kertas lalu NU dinafikaan. Perjuangan dan pengorbanan itu ada dan nyata, dan tidak harus diposting lalu disebarkan. Untuk mendapatkan like, subscribe, sponsor dan adsense hingga cuan!.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakiminya, apalagi merespon dengan sikap berlebihan. Melainkan sebagai ajang refleksi bagi kita bahwa, jika tidak menguasi suatu persoalan dengan sempurna, lebih baik diam.
Selamat Ulang Tahun Nahdalatul Ulama!. Darma Bhakti kupersembahkan!