oleh: Made Supriatma
Terus terang, selama beberapa bulan terakhir ini saya tenggelam dengan segala berita tentang pemilihan umum di Amerika. Pemilu kali ini sangat unik dalam banyak hal. Presiden yang berkuasa dan ingin terpilih kembali adalah presiden yang sangat tidak populer. Menurut banyak survey, popularitasnya tidak pernah melewati angka 45%. Dan, sesudah pandemik bahkan hanya menyentuh angka 37%.
Saya mengalami beberapa pemilu Amerika sebelumnya. Namun belum pernah saya melihat pemilu dengan situasi seperti ini. Presiden yang berkuasa berusaha memecah belah elektorat dan mengakali sistem pemilihan umum (electoral college) demi kemenanganngan. Tahun 2016 dia menang tipis di beberapa negara bagian (battle ground states) yang menjadi kunci kemenangan.
Presiden ini beruntung karena mewarisi ekonomi yang tumbuh dan berkembang baik dari pendahulunya. Selama tiga tahun kekuasaannya dia mampu menjaga pertumbuhan itu dan membuat angka pengangguran serendah mungkin. Namun, pandemi Covid-19 memusnahkan semua itu. Angka pengangguran meroket sampai 10% dan pertumbuhan ekonomi berkontraksi.
Pemilu ini menjadi obsesi saya. Obsesi ini mungkin hampir sama dengan obsesi teman-teman saya menggemari sepakbola liga-liga Eropa. Seperti mereka, saya pun kadang terbawa emosi dengan politik Amerika ini.
Setiap hari, ketika bangun pagi (saya bangun siang!) yang pertama saya lihat adalah The New York Times. Kemudian, Politico dan periksa artikel baru di The Atlantic dan New Yorker.
Saya juga periksa semua polling khususnya Five Thirty Eight (https://fivethirtyeight.com/ ) dan Real Clear Politics (https://www.realclearpolitics.com/) yang menyajikan polling terbaru dan aggregat nasional dari polling-polling yang terpercaya. Akhir-akhir ini, The Economist (shorturl.at/ryDGO), juga menyajikan modeling yang dibikin berdasarkan agregat polling nasional dan menyesuaikan dengan data karakteristik per negara bagian (states).
Dihampir semua data, khususnya yang mengagregasi polling-polling terpercaya, mengatakan bahwa Trump hanya punya kemungkinan 10% untuk menang. Polling di negara-negara yang menjadi ajang pertarungan (battle ground) memperlihatkan bahwa Joe Biden unggul di atas margin of error — entah itu di Pennsylvania, Michigan, atau Wisconsin, yang semuanya dimenangkan oleh Trump pada 2016 dengan marjin setipis silet.
Namun, banyak orang (termasuk saya) sangat kuatir dan tidak percaya dengan polling ini. Penyebabnya adalah: 2016! Ketika itu semua polling meramalkan bahwa Hillary Clinton akan menang mudah. Nyatanya, dia kalah dalam suara electoral college walaupun menang dalam suara terbanyak (popular vote).
Amerika punya sistem pemilihan yang unik. Presiden tidak dipilih langsung tapi oleh electoral college (konsepnya bisa dilihat disini: https://bit.ly/3oSBBx2). Orang memilih elektor (pemilih presiden) yang akan memilih presiden. Jumlah elektor ini bervariasi di setiap negara bagian. California misalnya punya 55 elektor, Florida 29, Michigan 16, dan seterusnya.
Sebagian besar negara bagian ini (kecuali Nebraska dan Maine) menentukan elektor dengan sistem ‘winner take all.’ Maksudnya siapa yang menang dalam pemilihan negara bagian, dia berhak atas seluruh elektor yang dimiliki negara bagian tersebut. Paa 2016, Trump unggul dari Hillary hanya dengan selisih 10,704 suara saja, Itu sudah cukup membuat dia mengambil seluruh 16 elektor dari negara bagian itu.
Sistem ini membuat presiden bisa terpilih tanpa suara terbanyak (popular votes). Pada 2016, Hillary Clinton memperoleh 3 juta lebih suara lebih banyak dari Donald Trump. Tapi dia tidak menjadi presiden.
Tidaklah mengherankan jika bila ada yang mengatakan bahwa Amerika Serikat dipimpin oleh presiden dengan suara minoritas.
Namun kekuasaan minoritas tidak hanya ada pada kepresidenan. Ia juga terjadi di Senat. Mengingat sistem pemerintahan Amerika adalah bikameral maka pemerintahan minoritas ini memiliki dampak signifikan terhadap kekuasaan.
Senat mewakili negara bagian dimana setiap negara bagian mengirimkan dua senator. Jadi, California yang punya penduduk 34,5 juta dan Montana yang berpenduduk satu juta, sama-sama diwakili oleh dua senator.
Sekarang Senat dikuasai oleh mayoritas Republikan. Para senator dari mayoritas ini berasal dari negara-negara bagian yang kecil, yang mayoritas kulit putih, dan pedesaan. Kalau diukur dari jumlah populasi yang diwakili, mereka minoritas dibanding populasi negara-negara bagian yang diwakili Demokrat.
Yang membuat pemilu Amerika kali ini berbeda dengan yang sebelumnya adalah karena Amerika memiliki seorang Presiden yang tidak sedikit pun mengindahkan norma dan aturan-aturan yang ada. Donald Trump adalah seorang marketing yang jagoan. Dia menipu. Dia membual. Dia berbohong. Dan banyak orang percaya.
Seperti halnya jagoan marketing dimanapun juga, dia menebarkan keraguan. Ketika orang menjadi ragu, dia menawarkan sesuatu. Mungkin sangat tidak masuk akal, namun karena ragu, orang mau mempertimbangkan apa yang dilihatnya sebelumnya.
Taruh misalnya soal pandemi. Trump bersikeras bahwa Covid-19 sudah hilang dan Amerika menang melawan pandemi. Walaupun kasus infeksi naik terus akhir-akhir ini dan selalu mencetak rekor baru namun Trump terus menerus memompa keraguan. Dia menyajikan ‘fakta-fakta alternatif’ yang membuat banyak orang mempertimbangkan kenyataan yang dilihatnya. Akhirnya banyak pengikutnya percaya bahwa Covid memang sudah musnah. Amerika sudah menang.
Hal itu dilakukan oleh Trump di berbagai bidang. Dia meragukan pemilihan ini sah dan belum apa-apa sudah menuduh adanya kecurangan (playbook seperti ini pada 2019 di Indonesia dilakukan oleh siapa?).
Dia juga mengklaim prestasi apa saja yang tidak dilakukannya dan tidak peduli bahwa itu bohong. Seperti misalnya dia adalah presiden yang paling berjasa untuk orang kulit hitam Amerika sejak Abraham Lincoln. Klaim yang diulang-ulangnya tanpa pernah malu dan diikuti oleh para sycophants-nya.
Persoalannya kemudian apakah orang-orang Amerika masih percaya pada semua gelembung kebohongan itu? Pemilu besok akan menentukan.
Berbagai polling menunjukkan bahwa orang Amerika sudah jenuh dengan Trump. Mereka mengalami kelelahan yang amat sangat (fatigue) dengan semua kontroversi yang diciptakan oleh Trump ini. Sehingga pemilu besok ini bisa jadi adalah referendum akan Trump. Artinya, orang mengenyahkan Trump bukan karena mereka suka dengan Biden namun karena mereka muak dengan Trump.
Trump berkuasa dengan merusak tatanan masyarakat. Dia menyemai permusuhan dan kebencian. Itulah aspek yang paling mengkuatirkan dari pemilu ini. Mungkin Anda sudah melihat di berbagai berita bahwa kalangan bisnis di berbagai kota di Amerika sekarang sedang bersiap akan terjadi kerusuhan rasial – baik bila Trump kalah atau menang. Toko-toko menutup jendela dan pintunya dengan triplek. Mereka takut akan penjarahan.
Hal yang terakhir ini membuat saya sedikit bangga sebetulnya. Indonesia punya pemilu yang regular namun tidak dalam suasana mencekam seperti di Amerika saat ini.
Hanya saja, dalam hal bakar membakar, orang Amerika tidak lebih pintar dari orang Indonesia. Melapisi jendela dengan tripleks mungkin tidak banyak menolong. Bagaimana kalau ia dilempar bom Molotov? Apakah tidak terbakar juga seluruh toko?
Dalam hal bakar membakar orang Indonesia jauh lebih canggih dan pintar. Masih ingat bagaimana puntung rokok bisa membakar sebuah gedung yang penuh berisi barang bukti kejahatan dan berkas perkara kriminal? Hanya dengan punting rokok lenyap sebuah gedung dengan segala bukti perkara kejahatan. Masih ingat itu? Dalam hal ini, kita harus bangga sebagai bangsa.
*) tulisan asli bisa dibaca di akun Facebook penulis dengan nama yang sama