Oleh: Made Supriatma
Dua hari belakangan ini, beberapa kawan saya bercerita tentang swinger. Ceritanya, ada seseorang, kita namakan saja Pak Swinger, menghubungi dia. Pak Swinger ini tidak pernah dia kenal secara fisik tapi diterima dalam perteman di media sosial karena mereka banyak memiliki ‘mutual friends.’
Baca Juga:
Suatu hari Pak Swinger ini bercerita kalau dia sedang melakukan penelitian. Topiknya agak aneh, yakni tentang swinger. Mungkin Anda tidak tahu soal ini. Swinger adalah praktek seksual saling bertukar pasangan. Jadi, ada dua pasangan A dan B. Suami si A tidur dengan istri si B; istri si A akan tidur dengan suami si B. Sebuah selera seksual yang terkategori tidak lazim namun ada dan dipraktekkan umat manusia.
Nah Pak Swinger ini mulai memancing-mancing pembicaraan ke soal sex. Itu tidak dia lakukan sekali namun berkali-kali. Suatu kali bahkan yang menghubungi kawan saya ini bukan Pak Swinger sendiri tapi istrinya. Nah, Bu Swinger ini cerita kalau Pak Swinger lupa untuk log out dari akunnya.
Lalu Bu Swinger mulai cerita soal .. ya itu tadi praktek swinger. Tentang bagaimana dia ikut swinger karena suaminya tidak normal dan dia mau karena ingin suaminya sembuh. Sampai dia bercerita tentang hal-hal yang ‘sexually explicit.”
Lama-lama, ketahuan bahwa sesungguhnya yang menjadi Bu Swinger itu adalah Pak Swinger sendiri. Dia mengubah perannya menjadi bininya untuk mengelabui lawan bicaranya. Yang dia lakukan adalah “curhat” soal penelitiannya itu.
Baru-baru ini, rame di media sosial soal fetishism berbungkus jarik. Ada seorang netizen menuliskan kisah pengalamannya berkomunikasi dengan fetish yang sejenis. Yang dia ceritakan ya tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Swinger kita ini.
Persis ketika cerita ini muncul di media sosial, makin banyak orang bicara soal yang sama. Ketika mereka telusuri ternyata pelakunya sama! Pak Swinger kita itu!
Sejak ketahuan itu, Pak Swinger awalnya meminta maaf. Dia masih bersikukuh bahwa dia sedang melakukan penelitian dan akan menulis buku. Namun hari ini dia dikonfrontir oleh para korbannya. Dia ‘membuat’ pengakuan di video bahwa dia tidak sedang melakukan riset. Dia tidak menulis buku. Dia melakukan perbuatannya itu untuk memuaskan fantasi seksualnya.
Semakin lama, semakin banyak orang punya cerita tentang Pak Swinger kita ini. Ternyata dia pernah melakukan pelecehan seksual di Balairung UGM, alma maternya. Dia sempat digebuki rekan sesama mahasiswa karena perbuatannya itu. Dia juga sempat diadukan ke polisi karena kasus seksual. Tapi kasusnya menguap entah kemana. Dia juga menjadi pasien beberapa psikiatris namun alih-alih menyembuhkan diri, dia kabarnya melakukan aktivitas seksual mandiri ketika berkonsultasi.
Ceritanya adalah bahwa Pak Swinger ini tidak pernah terjerat karena perilaku seksualnya itu. Dia lumayan pintar untuk mencari celah standar moral dan norma masyarakat. Dia meminta maaf. Dia digelandang ke polisi, Dia dihadapkan pada hukum dan norma universitas. Tapi dia bertahan.
Pertama, karena kita tidak punya sistem pencegahan untuk orang seperti ini. Dia bisa lepas karena kita masih melihatnya dalam bingkai moral kita: kasihan karena dia punya masa depan; dia punya kesempatan bertobat; bagaimana dengan keluarganya? Dia kan sakit? Mengapa kita sebagai masyarakat tidak mengobatinya saja ke psikiater (itu sudah dilakukan)? Dan lain sebagainya. Dia memanfaatkan kebaikan-kebaikan moral itu untuk beroperasi menyalurkan nafsu seksualnya.
Kedua, kita tidak punya sistem hukum yang cukup baik untuk menghukum tindakan kejahatan seperti ini. Kita bahkan tidak menganggap hal-hal seperti ini adalah sebuah kejahatan. Bahkan kategori kejahatan seksual itu pun sangat sulit untuk membuktikannya.
Sekali lagi, pertanyaannya adalah: Apakah ini sebuah kejahatan? Saya bukan ahli hukum. Namun, setahu saya, di beberapa negara tindakan seperti ini bisa dikategorikan sebagai tindak kriminal.
Ada satu istilah yang populer sekitar dua dekade belakangan ini seiring berkembangnya media. Itu adalah “sexting.” Ini adalah gabungan dua kata: sex dan texting. Atau perbincangan dengan kata-kata atau gambar tentang sex.
Di Amerika Serikat kasus sexting yang paling menghebohkan adalah ketika pada tahun 2011 anggota DPR dari New York, Anthony Wiener, mengirim gambar-gambar semi telanjang dirinya kepada beberapa perempuan. Dengan segera dia dipaksa mengundurkan diri dari Congress. Perbuatan ini diulanginya lagi pada 2017 kali ini kepada seorang gadis berumur 15 tahun. Untuk perbuatan ini dia dipenjara selama 21 bulan karena dia mengirimkan gambar kepada orang belum dewasa.
Secara umum, sexting bisa menjadi perbuatan kriminal. Ini terutama kalau dilakukan terhadap orang dibawah umur (minors) atau terhadap orang lain yang tidak dalam persetujuan (consent).
Saya kira, Pak Swinger ini mengirim sextext kepada orang-orang yang tidak ada hubungan persetujuan (consent) dengan dirinya. Isi-isi text yang dia kirimkan, yang berisi cerita-cerita hubungan sexual yang eksplisit mungkin bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Minimal mengajak atau merayu (seducing) orang untuk melakukan aksi seksual itu. Hal seperti ini termasuk ke dalam pelecehan.
Namun saya tidak yakin apakah ini bisa dikategorikan melanggar hukum kriminal di Indonesia atau tidak. Biarlah para ahli hukum memutuskan soal ini.
Kembali pada Pak Swinger, apakah dia sungguh sakit? Apakah dia akan bertobat? Bagaimanakah dampaknya terhadap para korbannya?
Mungkin saja Pak Swinger ini sakit. Jika dia benar-benar sakit, maka tempatnya bukan di dalam masyarakat bukan? Jika sakitnya membahayakan masyarakat maka dia harus diisolasi dari masyarakat. Mungkin dia juga tidak diperbolehkan memegang hape atau memiliki akses ke internet.
Apakah dia akan bertobat? Nah, ini yang susah. Dia sudah melakukan ini berulang kali. Dia juga sudah berhadapan dengan segala macam hal yang kalau itu dihadapi oleh orang normal maka dia akan kapok. Jadi, saya kira, melihat pada masa lalunya maka sulit sekali untuk dia untuk bertobat, kapok, atau berubah.
Ketiga, bagaimana dengan para korbannya? Kalau Anda tidak pernah menangani atau berhadapan dengan korban kasus pelecehan seksual, Anda tidak akan pernah mengerti betapa dalamnya luka psikologis yang dialami korban. Banyak orang mungkin mengira bahwa ah ini hal remeh … cuma kata-kata saja. Orang mungkin tidak mengerti bagaimana beratnya beban psikologis dikirimin ujaran-uajaran yang sexually explicit itu.
Saya tidak tahu apakah Pak Swinger bisa lolos lagi. Mungkin dia akan menangis dan mengiba dan bersandiwara bahwa dia sudah kapok. Dia sudah pernah melakukannya. Dan, tidak ada keraguan, dia tahu persis kalau ingatan kita pendek. Dia akan mengulanginya lagi karena dia tahu bahwa hukum kita tidak bisa menyentuhnya.