Oleh: Made Supriatma
Hari-hari ini banyak orang membicarakan Gibran Rakabuming, anak Presiden Jokowi. Dia berhasil mendapatkan rekomendasi partai terkuat di Solo, PDIP, untuk menjadi calon walikota dalam pemilihan mendatang.
Kemungkinan besar, Gibran akan menjadi calon tunggal. Dia menyingkirkan Achmad Purnomo, kader PDIP yang dicalonkan oleh pengurus partai itu di tingkat lokal. Cerita selebihnya, silahkan baca di artikel di bawah ini atau di mesin pencari.
Pendeknya, jika tidak ada halangan, Gibran akan menjadi calon tunggal. Partai-partai lain pasti berpikir untuk mengajukan calon tandingan. Gibran tak terkalahkan dalam tahap nominasi. Dia punya segalanya — dukungan partai-partai, anak presiden, dan sekaligus bapaknya dulu menjadi walikota disana.
Optimisme sudah membuncah bahwa Gibran akan menjadi Walikota Solo periode 2021-2025.
Semudah itukah? Itulah persoalannya.
Saya menjabarkan persoalan pemilihan melawan kotak kosong itu di dalam tulisan saya di bawah ini. Argumen saya: Jangan terlalu optimis!
Tim kampanye Gibran mungkin harus belajar dari pemilihan Walikota di Makassar 2018 dimana calon walikota dengan kredensial seperti Gibran terjungkal melawan kotak kosong. Juga harus belajar dari banyak pemilihan kepala desa di Jawa dimana calon Kades kerap kalah melawan kotak kosong.
Saya ingat ketika melakukan riset Mega-Bintang, koalisi PDI dan PPP untuk melawan Soeharto di Solo pada Pemilu tahun 1997. Peta koalisi itu mungkin sudah tidak ada lagi. Namun yang selalu membekas pada saya adalah ketika kampanye, massa-rakyat menyerukan “Aja manut Lurahe … Aja manut Lurahe …” (Jangan ikut Pak Lurah … Jangan ikut Pak Lurah …)
Seruan jni mengingatkan kepada saya bahwa rakyat jelata tetaplah pemilik suara dalam pemilihan apapun. Para elit bisa melakukan politicking dengan mengatur-atur posisi. Namun tetap yang berkuasa adalah rakyat.
Dilihat dengan cara ini, calon tunggal versus kotak kosong akan sangat menarik untuk dilihat. Kita akan melihat enthusiasm gap yang tinggi, apathy yang juga meninggi, dan orang akan merasa suaranya tidak akan signifikan mempengaruhi pemilihan.
Polling tidak akan mampu menangkap mood masyarakat. Dan sikap masa bodo meninggi.
Dalam situasi ini, kotak kosong sangat, sangat bisa menang. Dan, jangan lupa, orang senang melihat elit yang sangat kuat dan tidak tersentuh itu terjungkal. Orang merasa dikuatkan (empowered) ketika melihat bahwa pada akhirnya mereka yang hina dina bisa menurunkan yang berkuasa …