Jika kita mengganti Jum’atan dengan salat dhuhur di rumah, mengganti teraweh di Masjid/Mushalla dengan teraweh di rumah, dan melaksanakan rawatib di rumah dengan niat patuh dan taat kepada Ulil Amri, Allah insyaAllah yang akan menyempurnakan pahala ibadah kita. Ulil Amri adalah gabungan otoritas politik (umara’) dan agama (ulama).
Allah menyuruh kita mematuhi mereka:
Baca Juga:
« ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم ۖ » (النساء :٥٩)
Rasulullah bahkan menghubungkan ketaatan kepada pemimpin dengan ketaatan kepada beliau, durhaka kepada pemimpin berarti durhaka kepada beliau:
« من أطاعني فقد أطاع الله، ومن يعصني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني » (رواه مسلم)
“Barangsiapa taat kepadaku berarti dia taat kepada Allah. Barangsiapa durhaka kepadaku berarti durhaka kepada Allah. Barangsiapa taat kepada pemimpin berarti dia taat kepadaku. Barangsiapa durhaka kepada pemimpin berarti dia durhaka kepadaku.”
Apa batas ketaatan itu? Suka tidak suka, kita disuruh taat kepada pemimpin, selagi dia tidak menyuruh maksiat.
« على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكرِه، إِلا أن يؤمر بمعصية، فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة » (متفق عَليه)
“Wajib bagi setiap Muslim taat dan patuh (kepada pemimpin) baik senang maupun tidak. Kecuali jika diperintah kepada kemaksiatan, maka tidak ada kewajiban untuk taat dan patuh.”
Berdasarkan hadis-hadis Nabi, Imam Nawawi, juris Sunni paling kaliber dalam Madzhab Syafi’i, mengatakan di dalam kitab Rawdlat al-Thâlibîn:
« تجب طاعة الامام في امره ونهيه ما لم يخالف حكم الشرع ، سواء كان عادلا او جائرا »
“Wajib patuh kepada pemimpin dalam perintah maupun larangannya selagi tidak melawan hukum syara’, baik dia itu pemimpin adil maupun culas.”
Dalam kondisi gahar pandemi, perintah untuk tetap di rumah, termasuk beribadah di rumah, mengganti salat Jum’at dengan salat dhuhur dan melaksanakan teraweh di rumah, itu bukan kemaksiatan dan melawan syara’, tetapi justru dalam rangka menjaga maqâshid al-syarî’ah, yaitu memastikan terpeliharanya jiwa rakyat Indonesia. Karena itu, tindakan melarang salat Jum’at tidak bisa dianggap menodai agama.
Saya punya tradisi yang saya pelihara sejak kuliah, khusus Ramadan, saya salat lima waktu jama’ah di Masjid. Jika luput sekali saja rasanya menyesal.
Tetapi hari-hari ini saya tidak pernah lagi ke masjid. Ketika isteri sedang berhalangan dan anak-anak masih kecil, kita bahkan tidak bisa jamaah di rumah. Akhirnya salat sendiri. Saya kira banyak yang mengalami seperti ini.
Tetapi, kita niatkan saja sebagai ketaatan kepada Ulil Amri, sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, insyaAllah Allah yang akan menyempurnakan ibadah kita. Amin.
Selamat Jumat berkah.
Tetap di rumah.
*)M Kholid Syeirazi: Sekjen ISNU