
Oleh: Syamsul Hadi
Di tengah pandemi global Corona Virus Deasis (Covid-19) yang mempu mengacaukan segala aspek kehidupan; politik, ekonimi, keamanan, sosial, kesehatan apalagi. Sebab itu setiap elemen masyarakat untuk saat ini mengarahkan perhatiannya untuk bersama-sama menangani atau memustus mata rantai persebaran Virus Corona, baik dalam bentuk penyemprotan desinfektan, edukasi masyarakat terkait pola hidup sehat serta alokasi dana besar untuk penanganan virus Corona.
Terlepas dari pembicaraan objektifitas serapan anggaran penanganan Corona yang sudah banyak disorot oleh beberapa pakar, di samping penulis memang tidak mempunyai kapasitas dalam hal tersbut, maka penulis memilih yang ringan-ringan saja yang sekiranya tidak menimbulkan kerancuan baik dalam berfikir dan bertindak khususnya.
PC PMII Bangkalan sebagaimana direalis Bangsaonline.com mengadakan kegiatan pembagian sembako yang sasarannya Driver Ojol, Tukang Becak serta disabilitas (13/4/20). Ada pun yang menarik perhatian kegiatan tersebut bergandengtangan dengan salah satu anggota DPR RI, Syafiuddin Asmoro atau akrab kita kenal dengan jargonnya “Song Osong Lombung”.
Tahun 1972, Berangkat dari kegelisahan kader PMII terhadap hegemoni politik nasional sedangkan NU sebagai partai politik tidak menemukan tajinya, maka PMII memutuskan lepas secara struktural dari haribaan NU pada deklarasi Murnajati di Malang.
Idependensi ini menjadi udara segar buat PMII yang pada dasanya adalah organisasi mahasiswa yang secara teguh dan utuh harus memegang prinsip idelisme. Maka sebagai kader PMII harus menjadi mitra kritis pemerintah sebagai perwujudan dari Pradigma Kritis Tranformatif (PKT) yang seringkali dierung-erungkan oleh kader PMII.
Bersamaan dengan itu, NU mulai menggeser posisinya dari partai politik menjadi Ormas. Sederhananya, ormas ngurusin terkait keagamaan masyarakat tanpa ikut campur dalam urusan politik. Hal ini yang kita sebut dengan NU kembali ke Khittah 1926.
Dua bidang elemen sudah diisi, yaitu yang mengurusi terkait keagamaan masyarakat menurut Ahlusunnah Wal Jamaah, NU, sedangkan yang menjadi poros tengah dan sebagai mitra kritis kalangan atas adalah PMII. Sehingga untuk melengkapi hal itu, agar kader Nahdiyyin dapat berpengaruh lebih masif maka harus ada yang mengisi ruang politik, maka tercetus lah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 1998.
Sekali lagi harus diingat bahwa dari tiga organisasi yang sudah bersekala nasional disebut mempunyai poros gerakannya masing-masing yang digali dan ditetapkan bukan sekonyong-konyong ditetapkan, akan tetapi melalui ruang diskusi panjang dan perenungan yang mendalam. Tentu, semua itu dibangun di atas prinsip pengabdian sebagai bentuk ejawantah kecintaan terhadap NKRI.
Umum kita ketahui bahwa persoalan yang sampai saat ini belum bisa terselesaikan di tubuh PMII adalah masalah kaderisasi. Konon alasan sederhana yang mungkin dapat diterima sekilas waktu, PMII sebagai organisasi pergerakan tidak menyibukkan diri sekedar urusan andministrasi, nomor surat, meramut akal pikiran dan berdialektika, akan tetapi lebih kepada suatu gerakan yang dapat langsung menyentuh masyarakat dan memberikan manfaat secara langsung.
Dalam hal itu, penulis percaya bahwa PMII tidak melepas secara penuh terkait peran akal fikiran, intelektual. Toh, dalam Tri Motto PMII yang nomer dua adalah “Fikir” serta pun PMII mempunyai pisau analisa Pradigma Kritis Tranformatif yang tentu dalam pelbagai gerakan harus melalu perencanaan yang matang, kritis dan tentunya tepat sasaran. Sebaliknya harus menghindari gerakan yang bersifat rancu, ambigu bahkan dapat dikatakan salah alamat atau alamat palsu.
Apakah kegiatan pembagian sembako PMII bersama anggota DPR RI tersebut salam sasaran, ambigu atau salah alamat? Tentu tidak. Penulis yakin kegiatan itu sudah melalui musyawarah panjang dan melewati pertimbangan dan perdebatan yang alot di tubuh PC PMII Bangkalan. Hanya saja, jika penulis diperkenankan memberikan saran masukan yang kemudian mungkin dapat menjadi pertimbangan bahwa adanya kegiatan yang digandeng dengan salah satu anggota legislatif itu dapat berdampat tidak higenis terhadap kadee PC PMII Bangkalan sendiri.
Pasalnya, PMII yang semestinya melestarikan budaya keritis terhadap pemerintah akan terkesan kekritisannya mulai melemah dan bahkan tumpul. Eman eman jika PMII tidak bertaji lagi. Bahkan bagi penulis PMII tidak ada tanpa taji idealismenya karena PMII dibentuk oleh tuntutan tersebut. Lantas siapa yang akan menjadi mitra kritis atau chek and balenc pemerintah jika bukan PMII?
Belum lagi adanya alokasi anggaran penanganan Covid-19 di Bangkalan senilai 65,2 M. Ini tidak sedikit. Sehingga selain PMII ikut andil mengedukasi masyarakat, melakukan penyemprotan desinfektan, juga tugas utamanya adalah mengawal dan mengontrol realisasi dan atau pemyerapan anggaran tersebut, sudah tepat sasaran atau tidak. Bahkan jangan segan-segan turun jalan jika semisal menemukan penyelewengan walaupun di tengah hiruk pikuk pandemi Covid-19.
Berdasarkan UU Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi (Tipikor) pasal 2 ayat 2 yang mengatur terkait ancaman hukuman dan pemberatan pidana bagi pelaku yang melakukan Tipikor terhadap dana-dana yang diperuntukkan, diantaranya, untuk penanggulangan keadaan bahaya dan bencana alam nasional. Artinya, mengkorupsi dana bantuan seperti dana penanganan Covid-19 merupakan kejahatan yang sangat tidak berprikemanusiaan.
Oleh sebab itu, PMII Cabang Bangkalan harus masuk di dalamnya, mendistribusikan kader-kader PMII Bangkalan untuk mengawal bersama-sama agar anggaran tersebut tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum tidak tahu malu itu serta tidak ada salahnya jika PMII Bangkalan mendesak pemerintah menetapkan Lockdown lokal semisal, jika perlu. Setidaknya, apabila PB PMII belum merumuskan langkah penanganan Covid-19, PC PMII Bangkalan sudah menformulasikan pola gerak yang objektif untuk kabupaten Bangkalan.
*) Kader PMII STIUDA Bangkalan