Oleh: Dina Y Sulaeman
Wabah Covid-19 membuat banyak orang teringat pada Dr. Siti Fadilah Supari (Menkes RI 2004-2009) yang dulu berjibaku melawan virus Flu Burung 2005 dan bahkan berlanjut dengan melawan WHO di Jenewa.
Kisah perjuangan melawan WHO itu ditulis sangat detil oleh Dr. Siti di bukunya “Saatnya Dunia Berubah”.
Begitu baca, saya langsung “nyambung” karena inilah yang saya bahas di tesis dan disertasi saya: organisasi internasional di bawah PBB ketika mengambil suatu kebijakan ternyata sangat dipengaruhi oleh epistemic community (sekelompok pakar di ring 1 PBB, dengan mengabaikan suara kelompok pakar lainnya), perusahaan transnasional, juga IMF dan Bank Dunia.
Kisah dimulai ketika tahun 2005, virus flu burung masuk ke Indonesia (penularan virus dari unggas ke manusia, jadi yang jatuh sakit adalah manusia). Untuk mendeteksi virus, atas perintah WHO, sampel spesimen harus dikirim ke Hongkong, hasilnya baru dapat 5-6 hari kemudian. Jelas ini memperlambat upaya penanganan. Padahal, ternyata hasil pemeriksaan lab di Indonesia sama saja dengan hasil lab HK.
Secara bersamaan, berdatanganlah para penjual alat pendiagnosa cepat (rapid diagnostic test) ke Dr. Siti. Pembuatan alat itu didasarkan pada virus strain Vietnam. Jadi, virus dari korban flu burung di Vietnam dikirim ke WHO, lalu dibuat seed (benih) virusnya dan seed virus ini yang dibuat jadi alat tes. Tapi yang membuat alat tes bukanlah WHO melainkan perusahaan di negara-negara maju.
Lalu, WHO merekomendasikan obat bernama Tamiflu. Parahnya, ketika Indonesia mau beli, obat itu habis di pasar, karena sudah diborong negara-negara kaya (padahal mereka tidak kena flu burung).
Kemudian, tiba-tiba saja, tanpa penelitian virologi, staf WHO mengumumkan ke CNN bahwa di Indonesia sudah terjadi penularan dari manusia ke manusia. Jelas pengumuman sepihak dari WHO ini berbahaya buat Indonesia: Indonesia bisa diisolasi dan ekonomi akan ambruk. Dr. Siti langsung meminta ilmuwan Indonesia untuk meneliti virus itu, apa benar sudah ada perubahan (sehingga bisa menular dari manusia ke manusia).
Sambil menunggu hasil lab, yang dilakukan Dr. Siti tidak main-main: mengusir staf WHO yang “bacot” itu dari Indonesia dan meminta CNN mencabut berita tersebut. Beliau lalu bikin konperensi pers, menyampaikan argumen-argumen logis, misalnya, kalau benar sudah ada penularan dari manusia ke manusia, tentu yang pertama tertular adalah perawat dan jumlah orang yang tertular sangat banyak. Dan kemudian terbukti dari hasil lab, bahwa virus flu burung H5N1 tidak menular dari manusia ke manusia.
Peristiwa ini membuat Dr. Siti semakin penasaran, mengapa tatanan dunia soal virus harus seperti ini? Dia lalu mendapati ada 2 jalur perjalanan virus: (1) virus dari negara yang terkena wabah diserahkan ke WHO melalui mekanisme GISN (Global Influenza Surveillance Network), lalu entah dengan mekanisme apa, jatuh ke Los Alamos. Ini adalah lab yang dulu bikin bom atom Hiroshima. (2) dari WHO, virus diproses menjadi seed, lalu diserahkan ke perusahaan vaksin.
Dr Siti menulis, “Kapan akan dibuat vakisn dan kapan akan dibuat senjata kimia, barangkali tergantung dari keperluan dan kepentingan mereka saja. Benar-benar membahayakan nasib manusia sedunia. Beginilah kalau sistem tidak transparan dan tidak adil.” (hlm 17).
Yang dilakukan oleh Dr Siti berikutnya, adalah menolak menyerahkan virus flu burung Indonesia ke WHO, tapi diserahkan langsung ke perusahaan vaksin yang siap membuat vaksin dari virus itu. Logikanya: virus yang tersebar di Indonesia tentu “jenis” (strain) Indonesia, jadi vaksin yang lebih cocok adalah vaksin yang dibuat dari strain Indonesia, bukan vaksin dari virus Vietnam.
Menurut Dr Siti, perusahaan asing memang punya teknologi dan uang, tapi mereka tidak bisa bikin vaksin kalau seed virusnya tidak ada. Jadi, posisi Indonesia sebenarnya sejajar dengan mereka, tidak perlu minder, apalagi menyerahkan virus secara gratis, lalu membeli dengan harga yang ditetapkan semaunya oleh perusahaan.
Tahun 2007, ditandatanganilah MoU antara Depkes RI dengan Baxter, perusahaan vaksin.
Bagaimana dengan WHO? Tentu saja “panas”. Diutuslah wakilnya bernama David Heymann. Dia menjanjikan bantuan: lab Indonesia akan diperbagus dan Indonesia akan dikasih jatah vaksin berapapun yang diminta. Syaratnya, Indonesia tidak bikin vaksin flu burung sendiri dan semua virus dikirim tanpa syarat ke WHO. Alasan yang dikemukakan Heymann, dengan bahasa zaman now, “Bikin lab virus itu mahal lho, kalian ga akan sanggup, berat, biar kami saja.”
Tentu saja Dr. Siti menolak, apalagi sebelumnya, Menkes AS sudah janji mau kasih bantuan 3 juta dollar. Ternyata, harus disindir dulu oleh Dr Siti lewat media massa, baru dikirim uangnya, itupun diserahkan ke NAMRU, lab militer AS (tapi gedungnya ada di Indonesia). NAMRU sudah ditutup tahun 2009, atas perintah Dr. Siti, tapi konon kini berlanjut dengan nama baru.
Singkat cerita, perjuangan berlanjut ke sidang World Health Assembly di Jenewa. Yang disuarakan Indonesia: mekanisme pengiriman virus ke WHO harus disertai transparansi (negara asal diberi tahu, virusnya dipakai untuk apa?) dan perjanjian pembagian keuntungan.
Berbagai lika-liku persidangan, termasuk upaya ‘penjegalan’, diceritakan dengan detil dan seru (serasa baca novel). Ketangguhan Dr. Siti (padahal tidak berpendidikan diplomat) dalam mengarahkan para diplomat RI agar terus bertahan di hadapan gempuran argumen dan lobby dari pihak lawan, terutama ketika head to head dengan diplomat AS, sungguh mendebarkan.
Btw, kan yang digugat mekanisme WHO, tapi mengapa yang dilawan diplomat AS? Justru itulah yang juga dipertanyakan bu Siti di bukunya. Mengapa malah AS yang tampil sebagai pembela utama WHO (yang berkeras agar mekanisme penyerahan virus tanpa syarat tetap dilanjutkan)?
Yah, baca saja deh bukunya. Terutama, saya rekomendasikan untuk mahasiswa HI dan Ilmu Politik (para calon diplomat Indonesia). Kisah pertarungan diplomasi di buku ini ga akan kalian temukan di MUN.
Berita sedihnya: Dr. Siti dijatuhi vonis penjara pada tahun 2017 atas tuduhan korupsi (yang tentu saja, mengandung ‘tanda tanya’). Kini ada penggalangan petisi menyerukan agar Dr. Siti dibebaskan dari penjara dengan alasan, selain usia yang sudah sepuh (70 tahun), pengalaman beliau di garis depan melawan wabah flu burung (dan melawan WHO) tentu bisa dimanfaatkan dalam masa pandemi Covid-19 ini. Please sign.