Oleh: M Kholid Syeirazi
Seandainya seluruh rangkaian manuver Mohammad bin Salman (MBS), Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi (KSA), sukses, dia akan menjadi pewaris KSA yang paling kuat dan berkuasa.
Baca Juga:
Usianya belum genap 35 tahun, tetapi dia telah menjadi tokoh kunci dalam perubahan besar KSA. Untuk memuluskan rencana suksesi kekuasaan ke anaknya, Raja Salman menyingkirkan keponakannya, Mohammed bin Nayef bin Abdulaziz Al Saud, dari jabatan Putra Mahkota.
Tanpa pertumpahan darah, kudeta merayap itu terjadi pada 20 Juni 2017. Esok harinya, Raja Salman mengangkat anak kesayangannya, yang saat itu berusia 32 tahun, sebagai Putra Mahkota.
Sebelum diangkat jadi Putra Mahkota, MBS meluncurkan Visi Saudi 2030, sebuah disain modernisasi KSA untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dan mendiversifikasi ekonomi ke sektor jasa, rekreasi, dan pariwisata.
Pada Oktober 2017, MBS meluncurkan NEOM, proyek pengembangan kota raksasa senilai lebih dari US$ 500 miliar (+ 7000 triliun) di sekitar Laut Merah, sebelah barat laut KSA, dekat Mesir dan Yordania.
Pada kesempatan itu, MBS mendeklarasikan keinginan KSA kembali ke Islam moderat. Di hadapan investor yang berkumpul di Riyadh, MBS menegaskan tidak akan membuang waktu 30 tahun untuk memerangi pikiran-pikiran ekstrem.
“We will destroy them now and immediately.” KSA memecat ribuan imam radikal dari kegiatan masjid karena menyebarkan ekstremisme.
Sebagai syarat modernisasi, MBS menjanjikan keseteraan gender dan memperluas porsi bagi perempuan di sektor publik.
Mereka boleh menyetir, ke bioskop, atau mendatangi konser musik. Apa yang dikatakan MBS persis dengan apa yang dikehendaki Amerika Serikat.
Bulan berikutnya, November 2017, MBS bersih-bersih. Dia menangkap 11 Pangeran, termasuk Alwaleed bin Talal, Pangeran terkaya di dunia dengan nilai kekayaan mencapai US$28 miliar (+ Rp 392 triliun) atas tuduhan korupsi.
Juli 2018, MBS memerintahkan penangkapan sejumlah ulama ‘salafi politik’ seperti Salman al-Awdah, Awad al-Qarni, Farhan al-Malki, Mostafa Hassan, dan Safar al-Hawali.
Kampanye mereka mengusung isu reformasi politik dianggap menganggu kerajaan. Oktober 2018, MBS diduga berada di balik skenario melenyapkan Jamal Khashoggi, jurnalis Arab Saudi yang kritis terhadap monarki KSA.
Human Rights Watch mengungkapkan, di bawah MBS, KSA banyak menangkapi aktivis tanpa persidangan, menggencet oposisi yang bertindak damai sepanjang tahun 2018.
Terakhir, Maret 2020, MBS menangkap tiga orang pangeran, termasuk Mohammed bin Nayef, mantan Putra Mahkota yang diambil alih jabatannya pada Juni 2017.
Terlepas dari berbagai macam tuduhan, tindakan MBS tak lain adalah untuk memberangus seluruh potensi dari kekuatan oposisi.
Rumor tentang meninggalnya Raja Salman, ayahnya, adalah bagian dari drama konsolidasi dan dekonsolidasi kekuasaan MBS.
Seandainya konsolidasi MBS sukses, termasuk menjinakkan Dewan Ulama Senior Arab Saudi (هيئة كبار العلماء السعودية) yang konservatif, MBS dipastikan akan menjadi calon Raja KSA terkuat.
Agenda modernisasi yang dijalankannya akan mendapat dukungan dan legitimasi dari ulama.
MBS tentu saja menghitung peluang munculnya orang seperti Johaiman al-Otaibi, anggota Jama’ah Salafiyah Muhtasibah (JSM), yang murka terhadap program liberalisasi yang dijalankan Raja Faisal, yang diteruskan oleh Raja Khalid, yang akhirnya berujung pada Kudeta Mekkah pada 1979.
MBS membaca peta dan secara cerdik melucuti potensi dari kekuatan oposisi. Tapi kita belum tahu, apakah langkah MBS semakin jauh atau bakal terhenti di tengah jalan.
*) penulis adalah Sekjen ISNU