
penanews.id, JAKARTA – Sejak dibentuk pada 2002 zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, Religiusitas menempati urutan pertama dalam kode etik Komisi Pemberantasan Korupsi. Baru kemudian Integritas diurutan kedua dan seterusnya Keadilan, Profesionalisme dan Kepemimpinan. Lima asas yang menjadi dasar kinerja KPK itu disingkat RI-KPK.
Delapan belas tahun kemudian, zaman Presiden Joko Widodo, UU KPK direvisi. Dewan Pengawas KPK yang muncul akibat dari revisi itu, merasa perlu merevisi ‘aturan main’ alias kode etik KPK. Setelah berdikusi dengan ‘para ahli’, salah satu hasilnya yaitu membuang kata Religiusitas dan menggantinya dengan Sinergitas.
“Karena dalam UU yang baru, KPK harus bersinergi dengan lembaga lain. Bahkan tidak hanya bersinergi, tapi operasi bersama,” kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, menjelaskan alasan revisi kode etik KPK di Gedung KPK, Kamis, 5 Maret 2020.
Menurut Tumpak Hatorangan, religiusitas dianggap tidak perlu disebutkan karena nilai ini sudah otomatis menjadi nilai yang melekat pada setiap personal dan menaungi seluruh nilai dalam asas KPK yang baru.
Sampai di sini, alasan merevisi kode etik KPK nampak logis dan bisa diterima nalar. Namun jika kode etik dimaknai sebagai rambu-rambu, semacam marka di jalan raya, maka kode etik adalah pengingat.
Maka menjadi penting sebenarnya kata religiusitas termaktub sebagai asas pertama dalam kode etik KPK. Agar menjadi pengingat bahwa dalam pemberantasan korupsi pertanggung jawaban yang pertama dan utama adalah kepada Tuhan.
Religiusitas dapat mencegah petugas KPK berbuat melenceng karena selalu merasa diawasi Tuhan yang maha kuasa.
Sedangkan bila diganti dengan Sinergi, maka gerakan pemberantasan korupsi menjadi tidak luwes dan lentur bahkan lamban. Kondisi ini sudah terasa dalam kasus suap KPU yang menyeret nama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Penyidik KPK kesulitan menggeledah kantor DPP partai berlambang moncong putih itu karena harus seizin dewan pengawas. Dan Kita tahu, sinergi turunannya adalah koordinasi, turunan koordinasi tak jauh-jauh dari kompromi.
Dan dalam sebuah kompromi, tak ada lagi integritas, kepemimpinan, profesional apalagi keadilan. Nilai-nilai ini hanya tercipta jika penegak hukum hanya takut kepada Tuhan.
Toh, mestinya lembaga lainlah yang bersinergi dengan KPK dengan giat melaporkan berbagai dugaan pelanggaran, agar gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia tak menjadi hambar apalagi ambyar. (EMBE)